Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 21 April 2025
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini—sebuah momentum bersejarah untuk mengenang perjuangan luar biasa seorang perempuan dari Jepara bernama Raden Ajeng Kartini. Ia bukan hanya sosok pahlawan nasional, tetapi juga simbol kebangkitan perempuan Indonesia dalam menuntut hak atas pendidikan dan kesetaraan.
Lahir pada 21 April 1879 dari keluarga bangsawan Jawa, Kartini tumbuh dalam lingkungan yang penuh batasan bagi kaum perempuan. Saat itu, adat dan budaya masih menempatkan perempuan hanya dalam lingkup domestik, tanpa akses luas terhadap pendidikan maupun kebebasan memilih jalan hidupnya.
Namun, Kartini menolak untuk tunduk pada takdir yang membelenggu. Meski hanya bisa mengenyam pendidikan formal hingga usia 12 tahun, semangatnya untuk belajar tak pernah surut. Ia gemar membaca buku, surat kabar, dan menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabat pena di Belanda. Dari sanalah pandangan Kartini meluas, dan gagasan-gagasannya mulai mengakar.
Dalam surat-suratnya yang kelak dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menuangkan keresahan sekaligus harapan—tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan, tentang ketidakadilan yang dialami kaumnya, dan tentang mimpinya melihat perempuan Indonesia bangkit berdiri sejajar dengan laki-laki.
Kartini memang telah tiada di usia yang masih sangat muda, 25 tahun. Namun, warisan pemikirannya terus menginspirasi generasi demi generasi. Ia menyalakan obor perubahan, yang hingga hari ini tak pernah padam.
Di era modern, semangat Kartini tercermin dalam banyak wajah: perempuan yang menjadi pemimpin, pendidik, ilmuwan, aktivis, pengusaha, hingga ibu rumah tangga yang berdaya. Perjuangannya tidak berhenti di masa lalu—ia terus hidup dalam setiap langkah perempuan Indonesia yang berani bermimpi dan berjuang.
Hari Kartini bukan sekadar hari mengenang sejarah. Ia adalah ajakan untuk terus melanjutkan perjuangan, memperluas akses pendidikan, memberdayakan perempuan, dan menciptakan dunia yang lebih setara. Sebab seperti kata Kartini, “Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Gelap pun akan berlalu.”
(Mustofa)