Jakarta, infoDKJ.com | Minggu, 22 Juni 2025
PERIODE MADINAH
Saat-saat manusia mulia itu akan menghadap Pencipta-Nya
Hari-hari menjelang Rasulullah ﷺ menyampaikan nasihat terakhirnya
KISAH RASULULLAH ﷺ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad
UKASYAH MINTA QISAS (HUKUMAN BALASAN YANG SEIMBANG) KARENA PERNAH DICAMBUK NABI
Kaum muslimin terus menyimak nasihat Rasulullah ﷺ. Akhirnya sampailah pada satu pertanyaan yang tidak terduga dan membuat para sahabat sedih serta terharu. Rasulullah ﷺ menawarkan dirinya untuk di-qishash (dibalas secara adil).
Para sahabat terkejut. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya, aku akan pergi menemui Allah SWT.
Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia.
Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua.
Adakah aku berhutang kepada kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut.
Karena aku tidak mau bertemu dengan Allah SWT dalam keadaan berhutang dengan manusia.”
Semua sahabat diam. Dalam hati masing-masing berkata:
"Mana mungkin Rasulullah ﷺ berhutang kepada kami? Justru kamilah yang banyak berhutang kepada beliau."
Rasulullah ﷺ mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali:
“Siapa yang punggungnya pernah aku pukul, inilah punggungku silakan membalasnya.
Siapa kehormatannya pernah kulecehkan, inilah kehormatanku, silakan membalasnya.”
Saat itu, ada seorang yang berkata:
“Sesungguhnya engkau mempunyai tanggungan tiga dirham kepadaku.”
Rasulullah ﷺ langsung berkata:
“Berikanlah kepadanya, wahai Fadhl!”
Fadhl adalah saudara misan Rasulullah ﷺ.
Dalam kisah lain, Rasulullah ﷺ kembali mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali.
Tiba-tiba, berdirilah seorang sahabat bernama Ukasyah. Ia adalah mantan preman sebelum masuk Islam.
Ukasyah berkata:
“Ya Rasulullah... aku ingin menyampaikan sesuatu.
Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta engkau menyelesaikannya.
Seandainya ini bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sampaikanlah wahai Ukasyah.”
Maka Ukasyah pun mulai bercerita:
“Aku masih ingat ketika Perang Uhud dulu. Saat itu engkau menunggang kuda, lalu engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda.
Tapi cemeti tersebut tidak mengenai belakang kuda, melainkan mengenai dadaku, karena saat itu aku berdiri di belakang kuda yang engkau tunggangi.”
Rasulullah ﷺ berkata:
“Sesungguhnya itu adalah hutang, wahai Ukasyah. Kalau dulu aku memukulmu, maka hari ini aku akan menerima hal yang sama.”
Ukasyah dengan suara agak tinggi berkata:
“Kalau begitu aku ingin segera melakukannya, wahai Rasulullah.”
Beberapa sahabat marah dan berteriak:
“Sungguh engkau tidak berperasaan wahai Ukasyah! Bukankah Baginda sedang sakit?
Di mana letak harga dirimu? Tidak adakah sedikit kasih sayang terhadap Rasulullah ﷺ?”
Namun Ukasyah tetap tidak menghiraukannya.
Rasulullah ﷺ kemudian meminta Bilal untuk mengambil cambuk di rumah Fatimah, putrinya.
Fatimah bertanya kepada Bilal:
“Untuk apa Rasulullah meminta cambuk ini, wahai Bilal?”
Bilal menjawab dengan sedih:
“Cambuk ini akan digunakan oleh Ukasyah untuk memukul Rasulullah sebagai qishash.”
Fatimah pun menangis:
“Kenapa Ukasyah hendak memukul ayahku? Ayahku sedang sakit. Kalau hendak memukul, pukullah aku anaknya.”
Namun Bilal menjawab:
“Sesungguhnya ini adalah urusan antara mereka berdua.”
Bilal membawa cambuk ke masjid dan menyerahkannya kepada Ukasyah.
Saat Ukasyah bersiap memukul, Abu Bakar berdiri menghalangi:
“Ukasyah, kalau kamu hendak memukul, pukullah aku.
Akulah orang pertama yang beriman, sahabatnya dalam suka dan duka,
yang membentengi ketika diburu Quraisy. Aku tidak rela engkau mencambuk Rasulullah!”
Namun Rasulullah ﷺ bersabda:
“Duduklah wahai Abu Bakar. Ini urusan antara aku dan Ukasyah.”
Kemudian Umar bin Khattab berdiri:
“Ukasyah, kalau engkau hendak memukul, pukullah aku.
Langkahi dulu mayatku sebelum engkau menyakiti Rasulullah!”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Duduklah wahai Umar. Ini urusan antara aku dan Ukasyah.”
Lalu Ali bin Abu Thalib berdiri dan berkata:
“Ukasyah, pukullah aku saja sebagai pengganti cambukan itu. Aku darah daging Rasulullah.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Duduklah wahai Ali. Ini urusan antara aku dan Ukasyah.”
Saat itu, Hasan dan Husain, cucu Rasulullah ﷺ, bangkit dan menahan Ukasyah:
“Wahai Paman, pukullah kami saja. Kakek kami sedang sakit. Kami ini cucunya.
Jika engkau menyakiti beliau, sama saja engkau menyakiti kami.”
Namun Rasulullah ﷺ berkata:
“Wahai cucu-cucu kesayanganku, duduklah kalian. Ini urusan kakek dengan paman Ukasyah.”
Ketika Ukasyah berada di depan Rasulullah ﷺ, ia berkata:
“Engkau duduk di atas mimbar, aku di bawah. Kalau engkau ingin aku memukulmu, maka turunlah ke bawah.”
Para sahabat sangat geram mendengarnya.
Namun Rasulullah ﷺ, dengan kelembutan, meminta para sahabat memapahnya turun dan didudukkan di kursi.
Lalu Ukasyah berkata:
“Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, ya Rasulullah...”
Para sahabat semakin tidak tahan dengan permintaan Ukasyah. Namun Nabi ﷺ tetap memerintahkan membuka bajunya.
Ketika tubuh beliau terlihat, tampaklah batu yang diikat di perut Rasulullah ﷺ — pertanda beliau menahan lapar.
Rasulullah ﷺ berkata:
“Wahai Ukasyah, segeralah lakukan. Jangan berlebih-lebihan. Nanti Allah murka padamu.”
Namun tiba-tiba...
Ukasyah menjatuhkan cambuknya, memeluk tubuh Rasulullah ﷺ erat-erat, sambil menangis:
“Ya Rasulullah... ampuni aku. Maafkan aku.
Mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau...
Aku hanya ingin tubuhku bersentuhan dengan tubuhmu.
Engkau pernah bersabda: 'Barang siapa yang kulitnya pernah bersentuhan denganku, maka diharamkan api neraka atasnya.'
Aku sangat takut dengan neraka…”
Rasulullah ﷺ tersenyum:
“Wahai sahabat-sahabatku, jika kalian ingin melihat ahli surga, maka lihatlah Ukasyah!”
Semua sahabat pun menitikkan air mata dan satu per satu memeluk Rasulullah ﷺ.
Setelah itu, Rasulullah ﷺ menunaikan shalat Dzuhur, lalu kembali duduk di mimbar.
Beliau berwasiat:
Tentang Kaum Anshar:
“Kuwasiatkan kepada kalian tentang orang-orang Anshar.
Mereka adalah keluargaku dan tempat rahasiaku.
Mereka telah melaksanakan kewajiban mereka, yang tersisa adalah hak mereka.
Maka terimalah kebaikan dari mereka, dan ampunilah kesalahan mereka.”
Dalam riwayat lain:
“Bersikap baiklah kepada Anshar. Mereka adalah perut dan bekalku.
Balaslah kebaikan mereka, dan maafkanlah kesalahan mereka.”
Tentang Abu Bakar:
“Sesungguhnya ada seorang hamba Allah yang diberi pilihan
antara kemewahan dunia atau kedudukan di sisi-Nya.
Dan ia memilih kedudukan di sisi Allah.”
Abu Bakar pun menangis:
“Yaa Rasulullah, kami tebus engkau dengan ayah dan ibu kami...”
Para sahabat terheran, namun mereka sadar bahwa “seorang hamba” yang dimaksud Rasulullah ﷺ adalah dirinya sendiri.
Rasulullah ﷺ berkata lagi:
“Sesungguhnya orang yang paling banyak memberi perlindungan kepadaku dalam bersahabat dan hartanya adalah Abu Bakar.
Seandainya aku harus mengambil teman selain dari Allah, niscaya aku memilih Abu Bakar.
Tapi ia adalah saudara seiman, dan persaudaraan kami karena Allah.
Karena itu, semua pintu rumah ke masjid harus ditutup, kecuali pintu Abu Bakar.”
Shallu ‘alan Nabi...
اللهم صل وسلم وبارك عليه
SELANJUTNYA: EPISODE 158 dari 162
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri