Jakarta, infoDKJ.com | Jumat, 3 Oktober 2025
Penulis : Dr. Bagza Pratama, M.Sos. (Pengamat Politik Global Dan Hubungan Internasional)
Keputusan Amerika Serikat untuk kembali menggunakan hak veto terhadap resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) tentang gencatan senjata di Gaza sekali lagi memperlihatkan betapa timpangnya tatanan global hari ini. Satu suara dari negara adidaya mampu membatalkan harapan puluhan negara lain yang menginginkan penghentian kekerasan dan perlindungan bagi warga sipil.
Jika kita menengok sejarah, hak veto merupakan warisan Perang Dunia II yang diberikan kepada lima negara besar : AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis. John Locke pernah menekankan bahwa legitimasi kekuasaan hanya lahir dari persetujuan mayoritas. Tetapi, mekanisme veto jelas mengingkari prinsip itu. Apa yang kita saksikan hari ini bukan demokrasi global, melainkan tirani minoritas.
Amerika Serikat sering tampil sebagai “polisi dunia” dan pembela hak asasi manusia. Namun dalam kasus Gaza, mereka justru menunjukkan standar ganda. Machiavelli dalam Il Principe sudah lama menyingkap tabiat negara : kepentingan dan kekuasaan lebih sering didahulukan ketimbang moralitas. Dan benar saja, AS tidak ingin kepentingannya dengan Israel terganggu, sekalipun dengan konsekuensi jatuhnya korban sipil yang terus bertambah.
Di sisi lain, filsuf Immanuel Kant pernah menulis tentang “perdamaian abadi” yang hanya mungkin tercapai jika hukum internasional ditegakkan secara adil. Dengan memveto resolusi gencatan senjata, AS justru memperlihatkan betapa jauh dunia dari cita-cita kosmopolitan Kant : bahwa setiap manusia, di mana pun, berhak hidup damai.
Jürgen Habermas menegaskan bahwa legitimasi politik hanya sah bila lahir dari dialog yang inklusif. Ironisnya, di PBB, suara mayoritas negara anggota bisa dilenyapkan begitu saja oleh satu veto. Di titik inilah, PBB kian kehilangan legitimasi moral dan kepercayaan publik.
Yang lebih mengkhawatirkan, kondisi ini mempertegas apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai hegemoni : di mana narasi dan aturan global ditentukan oleh segelintir negara kuat. Tetapi di sisi lain, resistensi negara-negara Global South juga makin kuat. Mereka semakin menyadari perlunya tatanan multipolar yang lebih adil dan representatif.
John Rawls dalam teori justice as fairness menekankan bahwa keadilan menuntut kesetaraan perlindungan hak dasar bagi semua pihak. Namun, hak veto justru menutup pintu keadilan itu. Bagaimana mungkin dunia dianggap adil bila hidup mati suatu bangsa ditentukan oleh kepentingan politik negara lain?
Pada akhirnya, veto AS atas resolusi Gaza bukan sekadar peristiwa politik, melainkan cermin dari problem struktural dalam tata kelola global. Reformasi Dewan Keamanan PBB menjadi keniscayaan. Dunia tidak boleh selamanya disandera oleh kepentingan lima negara besar. Yang dibutuhkan adalah tatanan internasional yang lebih adil, demokratis, dan benar-benar berpihak pada nilai kemanusiaan universal.
Kesimpulan
Veto Amerika Serikat atas resolusi gencatan senjata Gaza menyingkap persoalan besar dalam tata kelola dunia : keadilan global yang tersandera oleh kepentingan politik segelintir negara. Mekanisme veto bukan hanya menyalahi prinsip demokrasi, tetapi juga mengkhianati nilai kemanusiaan universal.
Selama hak veto tetap menjadi “senjata” di Dewan Keamanan, PBB akan sulit memainkan perannya sebagai penjaga perdamaian sejati. Dunia membutuhkan reformasi yang berani, agar keputusan internasional tidak lagi diputuskan oleh kepentingan adidaya, melainkan oleh nurani kemanusiaan bersama. Tanpa itu, perdamaian hanyalah utopia, dan penderitaan rakyat Gaza akan terus menjadi luka yang menelanjangi wajah tatanan global kita.
subhanallah,, mabtap brother atas tulisannya,,, semoga bro slalu diberikan kesehatan dan pengetahuan yg bro tulis bermanfaat untuk semua orang,, kawan sekolah gw di SMP 159 yg sangat sukse,,, :)
BalasHapus