Jakarta, infoDKJ.com | Gelombang keluhan pengendara kembali menghantam Pertamina. Sejumlah pemilik kendaraan bermotor mengaku harus menanggung biaya perbaikan mesin hingga Rp2,5 juta setelah mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina. Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar tentang mutu BBM nasional yang seharusnya menjadi urat nadi mobilitas masyarakat.
Alih-alih memberi solusi, pemerintah justru mempertebal kontroversi. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah baru saja mengeluarkan aturan yang mewajibkan SPBU swasta membeli bahan baku dari Pertamina. Kebijakan ini langsung menuai kritik keras, karena dinilai bukan hanya mengekang kompetisi usaha, tetapi juga mengancam standar kualitas BBM di Indonesia.
“Kepercayaan konsumen dibangun dari kualitas, bukan dari monopoli pasokan. Jika semua harus bergantung ke Pertamina, bagaimana kami bisa menjaga standar internasional yang berlaku di luar negeri?” tegas seorang pengelola SPBU swasta, Rabu (2/10/2025).
Fenomena peralihan pengendara ke SPBU swasta seperti Shell, Vivo, dan BP kini semakin marak. Para pengguna menilai produk BBM swasta lebih konsisten, sejalan dengan standar internasional di Singapura, Malaysia, hingga Thailand. Fakta ini semakin menekan reputasi Pertamina yang diguncang isu kerusakan mesin.
Di balik polemik kualitas BBM, isu lain tak kalah serius. Informasi yang beredar menyebutkan, kebijakan ESDM berpotensi memicu gelombang PHK di sektor SPBU swasta, lantaran perusahaan kesulitan menjaga standar operasional jika pasokan dipasung. Jika benar terjadi, ribuan pekerja bisa kehilangan mata pencaharian di tengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Hingga berita ini diturunkan, Pertamina maupun Kementerian ESDM memilih bungkam. Tidak ada penjelasan resmi terkait dugaan rusaknya mesin konsumen maupun implikasi kebijakan wajib pasok bagi SPBU swasta.
Kebisuan ini menambah keresahan publik. Konsumen kini menunggu langkah konkret pemerintah: apakah berani menjamin mutu BBM, melindungi kepercayaan masyarakat, dan mencegah PHK massal? Ataukah justru membiarkan monopoli pasokan menutup ruang kompetisi yang sehat? (Red)
