Jakarta, infoDKJ.com | Sabtu, 25 Oktober 2025
Penulis: Ahmad Hariyansyah (Yansen)
Rindu yang Belum Tersingkap
Rindu kepada Allah adalah fitrah terdalam dalam diri manusia. Namun, sering kali rindu itu tertutup oleh hijab dunia, syahwat, dan ego diri. Padahal, di balik segala fatamorgana dunia, jiwa manusia senantiasa mencari cahaya. Allah berfirman:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’”
(QS. Al-A’raf: 172)
Ayat ini menunjukkan bahwa fitrah manusia sejatinya adalah pengakuan atas keesaan Allah. Maka, setiap rindu sejati sejatinya adalah rindu untuk kembali kepada-Nya.
Lafaz Berserah sebagai Isyarat Ruhani
Ketika manusia menyadari keterbatasannya, jalan kembali hanyalah dengan berserah diri. Berserah bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan ruhani yang menuntun menuju pintu mahabbah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah, dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadnya; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah qalbu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Selama hati terus mengetuk pintu-Nya — meski langkah terhuyung — Allah tidak akan menutup rahmat-Nya. Bahkan kegelisahan yang kita rasakan bisa jadi adalah panggilan cinta dari Sang Kekasih.
Tersesat adalah Tamasya Makrifah
Dalam perjalanan ruhani, kesalahan dan keterlambatan sering kali menjadi bagian dari proses. Selama hati tidak berpaling dari Allah, bahkan kesesatan bisa menjadi pintu menuju makrifah. Allah ﷻ berfirman:
“Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
(QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini adalah penghiburan bahwa tersesat bukanlah akhir perjalanan, melainkan awal untuk kembali ke jalan-Nya.
Kalimat Tauhid: Gerbang Fana’ dan Baqa’
Kalimat Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah adalah inti segala zikir. Ia memusnahkan segala wujud selain Allah (fana’), dan menegakkan makna keberadaan bersama Allah (baqa’). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang akhir perkataannya ‘Laa ilaaha illallah’, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad)
Di sinilah titik awal perjalanan ruhani: melebur ego dalam tauhid, lalu hidup kembali dalam cinta dan ridha Allah.
Penutup
Mengetuk pintu mahabbah bukanlah jalan yang seketika terbuka. Ada air mata, kegelisahan, dan rindu yang tertahan. Namun selama hati masih menyebut nama-Nya, selama lidah masih melafazkan Laa ilaaha illallah, maka jalan fana’ dan baqa’ akan menuntun hamba menuju cinta yang abadi.
