Jakarta, infoDKJ.com | Sabtu, 8 November 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Sebuah Kisah di Pagi Hari
Pagi itu udara masih segar, embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan. Di tepi jalan yang mulai ramai oleh langkah orang berangkat kerja, seorang pemuda paruh baya tengah menikmati sarapan sederhana — semangkuk bubur ayam hangat, disajikan dengan senyum ramah sang penjual.
Beberapa menit kemudian, datanglah seorang lelaki tua. Langkahnya pelan namun penuh ketenangan. Ia duduk di bangku yang sama, menunggu bubur pesanannya.
Tukang bubur menyapa,
“Makan di sini, Pak?”
“Ya, di sini saja, Bang,” jawabnya dengan suara lembut.
Tak lama, semangkuk bubur hangat tersaji. Aroma kaldu berpadu dengan kesejukan pagi, menghadirkan rasa syukur yang diam-diam memenuhi ruang hati mereka.
Ketika sang bapak tua baru menyantap seperempat buburnya, pemuda paruh baya itu sudah bersiap pergi. Ia menghampiri penjual, membayar buburnya — dan tanpa banyak kata, juga membayarkan bubur sang bapak tua.
Tukang bubur tersenyum dan berkata kepada si bapak tua,
“Pak, buburnya sudah dibayar sama anak muda tadi.”
Bapak tua tertegun. Ia menoleh, melihat pemuda itu sedang menyalakan mobilnya beberapa meter dari tempat duduknya. Dengan tangan kanan terangkat, ia berkata lirih,
“Terima kasih, Nak…”
Pemuda itu tersenyum, melambaikan tangan dari dalam mobil, lalu berlalu perlahan.
Bapak tua menunduk. Air matanya menetes perlahan. Dengan suara bergetar, ia berdoa,
“Ya Allah, segala puji bagi-Mu, Tuhan semesta alam. Limpahkanlah rahmat, kebahagiaan, dan keberkahan kepada anak muda itu serta keluarganya. Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang… Aamiin.”
Ia melanjutkan makan buburnya hingga habis — dengan rasa syukur yang tak bisa diungkapkan kata-kata.
Baginya, pagi itu bukan sekadar sarapan, melainkan tanda kasih Allah yang hadir melalui tangan manusia lain.
Kebaikan yang Tak Pernah Kecil
Kisah sederhana ini mengajarkan bahwa tidak ada kebaikan sekecil apa pun yang luput dari perhatian Allah.
Terkadang, satu perbuatan ringan bisa menjadi penghibur bagi hati yang letih — sebagaimana seteguk air terasa nikmat tak ternilai bagi yang haus.
Allah Ta‘ala berfirman:
“Tidak ada kebaikan sedikit pun yang kamu infakkan, melainkan Allah pasti mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah: 273)
Pemuda itu mungkin sudah melupakan perbuatannya pagi itu, tapi Allah tidak lupa.
Kebaikan itu tercatat — menjadi sebab turunnya doa tulus dari seorang hamba yang hatinya bersih.
Cinta Sesama, Cermin Keimanan
Rasulullah ï·º bersabda:
“Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kasih sayang dan keikhlasan adalah tanda kedalaman iman.
Pemuda itu memberi tanpa mengharap nama.
Sementara bapak tua membalas bukan dengan harta, tetapi dengan doa yang lahir dari hati.
Itulah bentuk kasih sayang yang saling menghidupkan — satu memberi, satu mendoakan; keduanya sama-sama dekat dengan Allah.
Rasulullah ï·º juga bersabda:
“Barang siapa diberi kebaikan oleh seseorang, maka balaslah. Jika engkau tidak mampu membalasnya, maka doakanlah untuknya hingga engkau merasa telah membalasnya.”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Doa adalah balasan terbaik, sebab ia menembus batas waktu dan jarak.
Dan ketika doa tulus diucapkan, malaikat pun mengaminkan:
“Dan untukmu juga seperti itu.”
(HR. Muslim)
Penutup
Dari kisah di pinggir jalan itu, kita belajar bahwa kasih sayang tidak harus menunggu saling kenal.
Satu tindakan kecil yang ikhlas dapat menjadi jembatan cinta antar manusia — sekaligus tanda cinta dari Allah.
Semoga kita termasuk hamba yang ringan tangan dalam memberi, dan lembut hati dalam mendoakan.
Sebab setiap kebaikan yang kita tabur hari ini, suatu saat akan kembali dalam bentuk yang jauh lebih indah.
“Sesungguhnya rahmat Allah dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-A‘raf: 56)
