Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 15 Desember 2025
Oleh: Dr. Muhammad Hanif Alathas, Lc., M.Pd.
Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah merenggut 1.006 nyawa hingga pertengahan Desember 2025. Data BNPB mencatat, ratusan ribu warga masih terdampak dan mengungsi akibat bencana yang disebut-sebut dipicu oleh hujan ekstrem.
Namun, benarkah hujan menjadi penyebab utama tragedi kemanusiaan ini?
Narasi Lama yang Terus Diulang
Setiap bencana datang, narasi yang sama kembali muncul: curah hujan tinggi. Memang, BMKG mencatat hujan di beberapa wilayah Sumatera mencapai lebih dari 300 mm per hari, dipengaruhi faktor siklon tropis. Tetapi hujan, sejatinya, adalah fenomena alam yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Jika hujan selalu dianggap penyebab, lalu mengapa banjir dan longsor kini jauh lebih mematikan dibanding dekade-dekade sebelumnya?
Hujan dalam Perspektif Al-Qur’an
Al-Qur’an menegaskan bahwa hujan diturunkan menurut kadar, bukan secara serampangan:
“Dan Dia menurunkan air dari langit menurut kadar, lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati.”
(QS. Az-Zukhruf: 11)
Para ulama menafsirkan ayat ini sebagai penegasan bahwa hujan adalah rahmat yang terukur. Ia menghidupkan, bukan mematikan. Jika hujan berubah menjadi bencana, maka ada sistem alam yang telah rusak oleh manusia.
Sains Menguatkan: Hutan Adalah Kunci
Pandangan agama ini sejalan dengan sains. Peneliti Hidrologi Hutan UGM, Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu, bukan sebab utama.
Hutan berfungsi seperti spons raksasa:
- Menahan dan menyerap air hujan
- Mengurangi limpasan permukaan
- Menjaga kestabilan sungai dan lereng
Ketika hutan hancur, air hujan tak lagi diserap, melainkan langsung mengalir deras ke pemukiman.
Kerusakan Hutan Sumatera: Fakta yang Tak Terbantahkan
Data menunjukkan kerusakan lingkungan di Sumatera sudah berada pada level mengkhawatirkan:
- Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan (1990–2020)
- Sumatera Utara kini hanya memiliki sekitar 29 persen tutupan hutan
- Sumatera Barat kehilangan sekitar 740 ribu hektare dalam dua dekade terakhir
Tak mengherankan jika banjir bandang membawa serta kayu gelondongan—saksi bisu pembalakan dan eksploitasi hutan yang masif.
Kerakusan, Bukan Hujan
Al-Qur’an telah mengingatkan:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia.”
(QS. Ar-Rum: 41)
Banjir Sumatera adalah tagihan dari dosa ekologis. Hujan hanya membuka tirai dari kerusakan yang telah lama terjadi. Penyebab utamanya bukan alam, melainkan kerakusan manusia yang menebang hutan demi keuntungan sesaat.
Solusi Bukan Sekadar Beton
Solusi bencana tidak cukup dengan normalisasi sungai, tanggul beton, atau teknologi mahal. Akar masalahnya adalah moral dan kebijakan lingkungan.
Rasulullah ï·º telah memberi teladan:
“Tidaklah seorang Muslim menanam pohon, lalu dimakan manusia atau hewan, melainkan bernilai sedekah.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Islam mendorong menanam, bukan menggunduli; memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasinya.
Penutup
Sudah saatnya publik berhenti menyalahkan hujan. Hujan adalah rahmat, tetapi kerakusan manusialah yang mengubahnya menjadi bencana.
Jika penggundulan hutan terus dibiarkan, maka banjir dan longsor hanya soal waktu. Dan pertanyaan paling mendesak yang harus kita jawab hari ini adalah:
apakah kita akan terus menumpuk keuntungan, atau mulai menyelamatkan masa depan?
Wallahu Ta’ala a’lam.
Penulis:
Ketua Umum HRS Center
Sekretaris Majelis Syuro DPP FPI


