Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 2 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Mengupas makna ikhlas, ujian hati, dan maqam ridha dalam perjalanan spiritual seorang hamba
Dalam perjalanan seorang hamba untuk mendekat kepada Allah, ada medan yang tidak terlihat namun menentukan: medan hati. Di antara seluruh amalan batin, ikhlas adalah yang paling berat sekaligus menjadi syarat diterimanya setiap amal. Ikhlas tidak dapat dilihat mata, tidak bisa dipamerkan, dan tidak memerlukan panggung. Namun dialah cahaya yang menerangi langkah seorang hamba menuju Tuhannya.
Banyak orang mampu shalat, berpuasa, bersedekah, dan menuntut ilmu. Tetapi tidak banyak yang mampu menjaga agar amal itu benar-benar murni hanya untuk Allah. Maka para ulama berkata:
“Mengikhlaskan niat adalah perkara paling berat bagi orang-orang yang benar-benar ikhlas.”
Makna Ikhlas dalam Islam
Secara bahasa, ikhlas berarti memurnikan, membersihkan, atau menyaring sesuatu dari campuran. Dalam konteks ibadah, ikhlas berarti memurnikan tujuan hidup dan amal semata-mata untuk Allah—tanpa berharap pujian, pengakuan, atau keuntungan dunia.
Allah Ta’ala berfirman:
“Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya…”
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini menegaskan bahwa inti dari seluruh ibadah adalah ketulusan hati.
Rasulullah ï·º juga bersabda:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya…”
(HR. Bukhari & Muslim)
Niat adalah ruh amal. Tanpa keikhlasan, amal sebesar apa pun kehilangan nilainya di sisi Allah.
Mengapa Ikhlas Itu Berat?
Ikhlas berat karena ia berurusan dengan sesuatu yang paling halus dan paling cepat berubah: hati. Riya, ujub, atau keinginan dipuji bisa menyelinap tanpa disadari. Seorang hamba mungkin memulai amal karena Allah, tetapi sesaat kemudian niat itu berubah karena dorongan ingin dihargai atau dilihat baik oleh manusia.
Para ulama berkata:
“Ikhlas adalah ketika engkau menyembunyikan ibadahmu sebagaimana engkau menyembunyikan maksiatmu.”
Ikhlas menjadi berat karena:
- Hati mudah berubah.
- Jiwa ingin dipuji dan dihargai.
- Setan membisikkan kebanggaan diri.
- Amal tampak baik secara lahiriah, namun dalamnya keruh.
Amal tanpa ikhlas tidak akan mengangkat derajat pelakunya.
Ikhlas dan Ujian yang Menyaring Hati
Ikhlas tidak lahir dari kenyamanan. Ia tumbuh melalui ujian, kekecewaan, dan luka-luka batin yang memaksa seorang hamba kembali bergantung hanya kepada Allah.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian. Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.”
(HR. Tirmidzi)
Ujian adalah proses pemurnian hati. Ketika manusia mengecewakan kita, ketika usaha tidak dihargai, ketika niat baik disalahpahami—di situlah Allah sedang mendidik kita:
“Luruskan tujuanmu. Jadilah hamba-Ku, bukan hamba pujian manusia.”
Maqam Ridha: Puncak Keikhlasan Seorang Hamba
Jika seseorang terus menjaga keikhlasannya, Allah akan menaikkan derajatnya menuju maqam tertinggi: Ridha.
Ridha adalah keadaan ketika hati menerima ketetapan Allah dengan lapang, tanpa keluh, tanpa gelisah, dan tanpa syarat. Seorang hamba yang ridha bukan hanya berkata “Aku pasrah,” tetapi hatinya benar-benar tenang karena yakin bahwa Allah tidak mungkin salah.
Allah berfirman:
“Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.”
(QS. Al-Bayyinah: 8)
Inilah puncak ketenangan batin yang dicari para hamba pilihan.
Penutup: Jalan Sunyi yang Dipilih Para Kekasih Allah
Ikhlas adalah perjalanan panjang. Tidak ada manusia yang tiba-tiba menjadi ikhlas sepenuhnya. Yang ada hanyalah hamba-hamba yang terus memperbaiki niat—setiap hari, setiap langkah, setiap helaan napas.
Ikhlas bukan semata kemampuan manusia, tetapi karunia Allah yang diberikan kepada mereka yang mencarinya dengan sungguh-sungguh.
Semoga Allah membersihkan hati kita, meneguhkan langkah kita, dan menuntun kita menuju maqam ridha.
Aamiin.


