Jakarta, infoDKJ.com | Minggu, 28 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam kehidupan, manusia sering kali berbeda pandangan terhadap suatu peristiwa atau perkara. Perbedaan itu tidak selalu berarti salah satu benar dan yang lain salah. Seringkali, perbedaan terjadi karena setiap orang melihat dari sudut yang berbeda.
Bayangkan dua orang yang melihat satu angka di tanah. Satu melihatnya sebagai angka 6, sementara yang lain melihatnya sebagai angka 9. Bentuknya sama, namun posisi yang berbeda membuat tafsirnya berbeda pula. Dalam konteks sosial, begitulah banyak hal terjadi: yang tampak benar bagi seseorang, bisa tampak berbeda bagi orang lain.
Karena itu, perbedaan sudut pandang dalam kehidupan bermasyarakat adalah sesuatu yang wajar. Allah menciptakan manusia dengan latar belakang, pengalaman, dan kapasitas berpikir yang tidak sama. Perbedaan tersebut bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling memahami dan saling melengkapi.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu…”
(QS. Hud: 118–119)
Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehendak Allah. Namun, perbedaan yang membawa rahmat hanyalah perbedaan yang disikapi dengan hikmah dan akhlak mulia. Sedangkan perbedaan yang memunculkan kebencian, fanatisme, dan pertikaian justru berubah menjadi fitnah dan dosa.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ï·º bersabda:
“Perbedaan di antara umatku adalah rahmat.”
(HR. Baihaqi)
Walaupun derajat hadits ini diperselisihkan oleh para ulama, maknanya tetap sejalan dengan prinsip Islam: perbedaan dapat menjadi rahmat bila disertai niat yang lurus dan akhlak yang lembut, bukan dengan kesombongan dan keinginan menang sendiri.
Islam pun menekankan cara yang bijak ketika menyampaikan kebenaran dan berdialog:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik…”
(QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini mengajarkan bahwa menyampaikan kebenaran tidak boleh dilakukan dengan emosi, celaan, atau merasa diri paling benar. Karena bisa jadi kebenaran yang kita lihat hanyalah sebagian dari kebenaran utuh yang Allah ketahui secara sempurna.
Rasulullah ï·º juga mengingatkan bahaya perdebatan yang tidak sehat:
“Barang siapa berdebat untuk memenangkan kebatilan, maka ia tetap berada dalam kemurkaan Allah hingga ia berhenti.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits ini menegaskan agar manusia tidak menjadikan debat sebagai ajang ego, apalagi memaksakan pendapat dalam perkara yang sifatnya relatif atau perbedaan sudut pandang. Kadang yang lebih dibutuhkan bukan pertanyaan “siapa yang benar”, melainkan “bagaimana menyikapi perbedaan dengan benar”.
Pelajaran yang Bisa Diambil
-
Kebenaran hakiki hanya milik Allah.
Pandangan manusia bisa benar sebagian, namun tetap terbatas oleh posisi dan pemahamannya. -
Perbedaan sudut pandang adalah ujian akhlak.
Apakah kita tetap rendah hati, atau justru mudah menghakimi? -
Tidak semua hal perlu diperdebatkan.
Kadang lebih baik saling memahami daripada saling menyalahkan. -
Gunakan hikmah dalam berdiskusi.
Belajarlah mendengar lebih banyak, agar kita juga mampu melihat dari sisi orang lain.
Kesimpulan
Perbedaan pandangan tidak selalu berarti pertentangan. Seperti angka 6 dan 9—bentuknya sama, hanya posisi yang berbeda. Begitu pula dalam kehidupan: apa yang kita anggap salah dari satu sisi, bisa jadi benar dari sisi lain.
Kunci agar perbedaan menjadi rahmat adalah rendah hati, berprasangka baik, dan tidak fanatik terhadap pendapat sendiri. Karena yang paling mengetahui kebenaran sejati hanyalah Allah ï·».
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
(QS. Al-Isra’: 36)


