Tokoh Pemuda Muhammadiyah/Pimpinan Redaksi infodkj.com
Indonesia tidak sedang kekurangan orang pintar. Indonesia hanya terlalu sering kekurangan kesadaran.
Akhir-akhir ini kita kembali melihat pola yang memalukan: masalah yang awalnya berkaitan dengan kepentingan kelompok atau organisasi, tiba-tiba “diangkat derajatnya” menjadi soal suku. Seakan-akan suku harus turun tangan untuk membela konflik yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan kehormatan budaya atau identitas.
Ini bukan sekadar salah paham. Ini adalah permainan murahan yang dampaknya bisa membunuh persaudaraan.
Suku digunakan seperti korek api: sekali dinyalakan, masyarakat yang terbakar.
Suku Dijadikan Alat—Lalu Anak Bangsa Dipakai sebagai Korban
Mari kita jujur. Orang-orang yang menyeret suku ke dalam konflik bukan sedang membela adat atau kehormatan. Mereka sedang mencari tameng. Mereka tahu, kalau konflik dibuat jadi konflik suku, massa akan bergerak lebih cepat, lebih emosional, dan lebih membabi buta.
Yang paling menyedihkan: korban pertama dari permainan ini adalah generasi muda. Anak-anak yang seharusnya belajar, bekerja, dan membangun masa depan, malah diprovokasi untuk membenci dan menyerang saudaranya sendiri.
Lalu setelah rusuh selesai, para aktor di belakang layar tetap nyaman.
Yang hancur adalah anak bangsa.
Yang hilang adalah masa depan.
Sumpah Pemuda Tidak Diciptakan untuk Hiasan Panggung
Kita punya Sumpah Pemuda 1928: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Itu bukan slogan lomba 17-an. Itu kontrak moral. Itu pondasi negara.
Dan kita punya Sumpah Palapa: simbol tekad menyatukan Nusantara, bukan membelahnya.
Maka ketika ada yang memakai suku untuk memanaskan konflik organisasi, itu artinya:
mereka sedang menampar Sumpah Pemuda.
Bahkan lebih dari itu: mereka sedang meludahi perjuangan nasional yang dibangun dengan darah.
Mereka mungkin merasa itu hanya strategi. Tapi strategi seperti ini adalah racun bangsa.
Pahlawan Mati untuk Persatuan, Jangan Kita Hidup Jadi Pengkhianat
Pahlawan kita tidak mati demi kekuasaan kelompok. Mereka tidak gugur demi ambisi organisasi. Mereka mati demi satu hal: Indonesia berdiri sebagai satu bangsa.
Kalau hari ini ada orang yang menyulut konflik suku demi kepentingan sempit, maka namanya bukan pejuang.
Namanya pengkhianat.
Dan kalau ada masyarakat yang ikut terbakar tanpa berpikir, maka yang terjadi bukan keberanian.
Itu kebodohan kolektif yang diwariskan.
Konflik Identitas Itu Tidak Pernah Selesai: Ia Jadi Luka Turun-Temurun
Konflik kepentingan bisa selesai dengan hukum.
Tapi konflik suku? Itu bisa berubah jadi luka panjang.
Hari ini satu insiden.
Besok balas dendam.
Besoknya lagi permusuhan diwariskan.
Dan negeri ini tidak hancur karena kurang sumber daya—negeri ini hancur karena rakyatnya sibuk saling membenci.
Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi.
Negara Harus Tegas, Masyarakat Harus Cerdas
Saya tegaskan: mengadu domba dengan suku bukan ekspresi kebebasan. Itu ancaman bagi persatuan. Negara harus hadir, tegas, dan tidak ragu menindak provokasi yang memicu kebencian.
Tapi negara tidak bisa bekerja sendiri. Anak bangsa harus cerdas. Jangan mudah disulut. Jangan mudah dijadikan alat.
Ada pertanyaan sederhana yang wajib kamu tanyakan setiap kali ada yang membakar isu suku:
“Siapa yang diuntungkan?”
Karena hampir selalu, yang diuntungkan bukan rakyat. Yang diuntungkan adalah:
- kelompok yang ingin menang,
- pihak yang ingin berkuasa,
- atau orang-orang yang ingin Indonesia lemah dari dalam.
Kalau Suku Dijadikan Senjata, Maka Indonesia Sedang Digali Kuburnya
Jika suku dijadikan senjata, maka sebenarnya kita sedang menggali kubur bangsa sendiri.
Indonesia tidak akan runtuh karena serangan luar. Indonesia bisa runtuh karena kita dibiarkan saling memukul, saling curiga, saling membenci, hanya karena ada yang mengipas konflik demi kepentingan sempit.
Saya mengajak seluruh anak bangsa:
jangan jadi bahan bakar.
jangan jadi korban.
jangan jadi alat.
Beda boleh. Kritik boleh. Tapi ketika suku dipakai untuk memecah persaudaraan, itu bukan lagi perbedaan—itu kejahatan sosial.
Karena Indonesia bukan milik satu suku, bukan milik satu kelompok.
Indonesia milik kita semua.
“Mereka yang menyalakan konflik identitas sedang menggali kubur Indonesia.”


