JAKARTA, infoDKJ.com | Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru terus menjadi perhatian serius di kalangan pemerhati hukum. Pembaruan regulasi tersebut dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, perubahan ini harus diimbangi dengan pemahaman yang memadai dari masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Satrio Anggoro, Paralegal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PIJAR DPW DKI Jakarta, yang menegaskan bahwa penegak hukum memiliki tanggung jawab besar untuk memberikan edukasi hukum secara intensif dan berkelanjutan kepada publik.
Menurut Satrio, tingkat literasi hukum masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, khususnya di kalangan masyarakat awam. Kondisi ini kerap menimbulkan persepsi keliru terhadap proses penegakan hukum, bahkan memunculkan anggapan bahwa hukum dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau kepentingan tertentu.
“Dengan diberlakukannya KUHP dan KUHAP yang baru, para penegak hukum harus lebih proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat. Publik perlu memahami bahwa hukum bekerja secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan, bukan karena materi, uang, atau kepentingan tertentu,” tegas Satrio.
Ia menjelaskan, salah satu tantangan terbesar dalam implementasi KUHP dan KUHAP baru adalah adanya kesenjangan pemahaman antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Tanpa edukasi yang memadai, perubahan regulasi tersebut dikhawatirkan tidak akan memberikan dampak maksimal bagi keadilan.
Satrio juga menyoroti bahwa pembaruan KUHP dan KUHAP membawa sejumlah perubahan penting, antara lain penguatan hak-hak tersangka dan terdakwa, peningkatan standar akuntabilitas aparat penegak hukum, serta penyesuaian terhadap perkembangan sosial masyarakat. Namun, ia menegaskan bahwa sebaik apa pun aturan hukum, tidak akan berdampak signifikan apabila tidak dipahami oleh masyarakat.
“Pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban hukum mereka merupakan kunci tercapainya keadilan substantif. Karena itu, dibutuhkan strategi edukasi hukum yang sistematis, terstruktur, dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok marjinal,” ujarnya.
Sebagai bentuk komitmen kelembagaan, LBH PIJAR DPW DKI Jakarta menyatakan kesiapan untuk memperluas program penyuluhan serta pendampingan hukum bagi masyarakat. Program tersebut diharapkan dapat membantu publik tidak hanya memahami ketentuan hukum, tetapi juga berani menggunakan hak-haknya saat berhadapan dengan proses hukum.
Satrio berharap pembaruan regulasi ini, yang dibarengi dengan peningkatan transparansi dan edukasi dari aparat penegak hukum, dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional.
“KUHP dan KUHAP yang baru harus menjadi titik awal membangun budaya hukum yang sehat. Penegak hukum memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk memastikan masyarakat merasakan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak diskriminatif,” tutupnya.
Dengan demikian, pembaruan KUHP dan KUHAP tidak hanya menuntut kesiapan aparat penegak hukum, tetapi juga partisipasi aktif masyarakat yang memahami hak dan tanggung jawab hukumnya. Edukasi publik menjadi prasyarat utama terwujudnya sistem peradilan pidana yang kredibel, transparan, dan berkeadilan.
(Akiem)


