Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 18 Desember 2025
Karya: Ahmad Hariyansyah
Setiap manusia diciptakan Allah ﷻ dengan kemampuan, potensi, dan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang dianugerahi kecerdasan tinggi, ada yang kuat secara fisik, ada yang diuji dengan keterbatasan, dan ada pula yang diberi kelebihan berupa kesabaran serta keteguhan hati. Perbedaan inilah yang sering oleh manusia disebut sebagai takdir.
Namun dalam ajaran Islam, takdir bukanlah konsep pasrah tanpa usaha. Takdir justru merupakan bagian dari sistem ilahi yang sangat adil, yang di dalamnya terdapat ruang ikhtiar, doa, dan tanggung jawab manusia. Untuk memahaminya secara utuh, Islam memperkenalkan dua istilah penting: Qadha dan Qadar.
Makna Qadha dan Qadar
Secara sederhana, Qadha adalah ketetapan, rencana, atau keputusan Allah sejak azali. Ia berada dalam ilmu Allah ﷻ, tertulis di Lauhul Mahfuzh, sebelum sesuatu itu terjadi. Qadha bersifat potensial dan masih berada dalam wilayah kehendak Allah yang Maha Luas.
Adapun Qadar adalah realisasi atau perwujudan nyata dari ketetapan tersebut di alam kehidupan. Qadar adalah apa yang benar-benar terjadi dan dialami oleh manusia.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ketentuan (takdir).”
(QS. Al-Qamar: 49)
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu berjalan dalam ketentuan Allah. Namun ketentuan tersebut tidak menafikan peran manusia sebagai makhluk yang diberi akal, kehendak, dan kemampuan untuk berusaha.
Takdir Tidak Menafikan Ikhtiar
Kesalahan dalam memahami takdir sering terjadi ketika seseorang menjadikannya alasan untuk diam, menyerah, atau bermalas-malasan. Padahal Islam tidak pernah mengajarkan kepasrahan yang mematikan usaha.
Manusia memang tidak bisa mengubah qadar yang telah terjadi, tetapi Allah memberi ruang luas bagi manusia untuk berikhtiar dalam wilayah qadha—sebelum suatu ketetapan itu menjadi kejadian nyata.
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra‘d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan nasib dan keadaan hidup manusia sangat erat kaitannya dengan kesadaran, usaha, dan pilihan mereka sendiri.
Ikhtiar Zahir: Ilmu, Akal, dan Gerak Nyata
Ikhtiar zahir adalah usaha lahiriah yang dapat dilihat dan diukur. Ia mencakup:
- Memaksimalkan penggunaan akal dan ilmu
- Mau bergerak, bekerja, belajar, dan berjuang
- Tidak berlindung di balik alasan takdir untuk menghindari tanggung jawab
Rasulullah ﷺ bersabda:
احْرِصْ عَلَىٰ مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجِزْ
“Bersungguh-sungguhlah dalam perkara yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan keseimbangan yang indah antara usaha maksimal dan ketergantungan kepada Allah. Ikhtiar adalah kewajiban manusia, sementara hasil sepenuhnya berada dalam kuasa Allah.
Ikhtiar Batin: Doa sebagai Kekuatan Perubahan
Selain ikhtiar zahir, Islam juga mengajarkan ikhtiar batin, yaitu doa. Doa bukan sekadar pelengkap usaha, tetapi inti dari penghambaan. Dengan doa, seorang hamba mengakui kelemahan dirinya dan menyerahkan segala urusan kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Allah ﷻ berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan untukmu.”
(QS. Ghafir: 60)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
لَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ
“Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan bahwa doa memiliki peran besar dalam mengubah ketetapan yang belum terjadi. Dengan izin Allah, doa dapat mengalihkan qadha sehingga qadar yang terwujud menjadi berbeda dari yang dibayangkan sebelumnya.
Harmoni antara Takdir dan Usaha
Seorang mukmin yang benar tidak terjebak pada dua ekstrem: merasa serba mampu tanpa Allah, atau pasrah tanpa usaha. Ia berikhtiar sekuat tenaga, berdoa dengan penuh harap, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan tawakal yang tulus.
Allah ﷻ berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan kepada Allah-lah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”
(QS. Al-Ma’idah: 23)
Tawakal bukanlah sikap menyerah sebelum berusaha, melainkan ketenangan hati setelah ikhtiar dilakukan secara maksimal.
Penutup
Takdir bukanlah vonis yang mematikan harapan, melainkan panggilan untuk berusaha dan mendekat kepada Allah. Qadha adalah ketetapan Allah yang masih terbuka dengan izin-Nya, sedangkan qadar adalah hasil akhir yang terjadi sesuai kehendak-Nya.
Seorang mukmin berjalan di antara ikhtiar dan tawakal, antara doa dan usaha, dengan keyakinan penuh bahwa apa pun yang Allah tetapkan—baik atau buruk menurut pandangan manusia—pasti mengandung hikmah dan kebaikan bagi hamba yang beriman.


