Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 30 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Di antara seluruh makhluk ciptaan Allah, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi akal dan kehendak bebas. Dengan akal, manusia mampu mengenal Tuhannya, memahami kebenaran, dan bertasbih dengan kesadaran penuh. Namun ironinya, justru manusialah yang sering lupa bertasbih—terhijab oleh kesibukan dunia dan ego yang menebal.
Padahal, seluruh alam raya ini—dari udara, air, hingga cahaya—senantiasa bertasbih kepada Allah tanpa henti.
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.”
(QS. Al-Isrā’: 44)
Manusia yang tidak bertasbih sesungguhnya bukan hanya lalai, tetapi keluar dari harmoni semesta. Saat seluruh makhluk tunduk dan memuji Sang Pencipta, manusia malah sibuk dengan dirinya sendiri—sibuk dengan urusan dunia yang fana—hingga hatinya mengeras dan lupa kepada Allah.
1. Lupa yang Membuat Hati Mati
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perbanyaklah mengingat Allah hingga orang-orang menyebutmu gila.”
(HR. Ahmad)
Kalimat ini bukan berlebihan. Ia menunjukkan betapa dzikir adalah nyawa spiritual bagi manusia. Hati yang lalai dari dzikir seperti jasad tanpa ruh—hidup secara biologis, namun mati secara rohani.
Allah memperingatkan:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”
(QS. Al-Hasyr: 19)
Ketika manusia lupa kepada Allah, ia kehilangan arah hidupnya. Ia tersesat dalam keinginan, dikuasai oleh amarah, ketakutan, dan hawa nafsu. Inilah bentuk tasbih yang terhenti—manusia tidak lagi selaras dengan irama dzikir alam semesta.
2. Dzikir: Jalan Menghidupkan Tasbih yang Hilang
Tasbih manusia bukan sekadar melafalkan “Subhānallāh”, tetapi menyadari kebesaran Allah dalam setiap keadaan. Saat hati bergetar melihat ciptaan-Nya, saat bibir berucap syukur, saat jiwa bersabar menghadapi ujian—itulah dzikir sejati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan yang tidak berdzikir, seperti orang yang hidup dan orang yang mati.”
(HR. Bukhari)
Artinya, dzikir bukan hanya amalan lisan, tetapi denyut kehidupan batin. Semakin sering hati mengingat Allah, semakin hidup ruhnya, dan semakin ringan langkahnya menuju kebaikan.
3. Mengembalikan Kesadaran Tasbih
Untuk kembali kepada irama tasbih semesta, manusia harus membersihkan hati dari dua penyakit besar: lalai dan sombong.
Lalai membuat hati jauh dari Allah.
Sombong membuat manusia enggan mengakui bahwa hanya Allah yang Maha Agung.
Tasbih sejati berarti meniadakan kesombongan dan mengakui kelemahan diri di hadapan Sang Pencipta.
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang-orang yang bersujud.”
(QS. Al-Hijr: 98)
Dzikir yang paling sederhana—“Subhānallāh”—sejatinya adalah latihan untuk hati yang ingin merendah. Setiap kali lidah mengucapkannya, hati sedang menafikan keangkuhan, mengakui bahwa hanya Allah yang Maha Suci dari segala kekurangan.
4. Menjadi Bagian dari Orkestra Alam
Ketika manusia berdzikir, ia kembali menjadi bagian dari orkestra dzikir semesta—bersama pepohonan, angin, air, dan para malaikat yang semuanya tunduk kepada Allah. Ia bukan lagi makhluk yang terasing dari Tuhannya, tetapi bagian dari harmoni ciptaan yang terus bertasbih siang dan malam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah suatu kaum duduk berdzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah meliputi mereka, ketenangan turun atas mereka, dan Allah menyebut mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.”
(HR. Muslim)
Kesimpulan
Tasbih bukan sekadar kalimat, melainkan getaran jiwa yang menyatu dengan alam semesta. Ketika manusia lupa bertasbih, ia terpisah dari irama kehidupan. Namun ketika ia kembali mengingat Allah, seluruh alam seakan menyambutnya—karena ia telah kembali kepada harmoni asal yang menjadi tujuan penciptaannya.


