Jakarta, infoDKJ.com | Minggu, 7 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Di sebuah kota kecil pada masa awal Islam, hiduplah seorang pemuda bernama Zaid. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah, lembut, dan dermawan. Senyumnya selalu hadir bagi siapa pun yang ditemuinya. Namun para ulama sering berkata, “Akhlak sejati seseorang tidak terlihat pada keadaan biasa, tetapi saat ia diuji.” Dan pada suatu hari, Allah memperlihatkan kedalaman hati Zaid.
Ujian di Pasar
Suatu hari, ketika Zaid membantu para pedagang di pasar, datanglah seorang pria tua yang terkenal mudah tersulut emosi. Tanpa alasan jelas, ia menuduh Zaid merebut tempat dagangannya. Suaranya melengking dan memecah keramaian, membuat orang-orang menoleh.
Para pedagang menahan napas:
Apakah Zaid akan membalas?
Namun Zaid tetap tenang. Dengan suara lembut ia berkata:
“Maafkan aku jika membuatmu tidak nyaman. Silakan ambil tempat ini. Aku tidak rugi jika mengalah.”
Perkataan itu seharusnya meredakan amarah, tetapi pria tua itu justru makin terbakar emosi. Ia mendorong peralatan dagangan Zaid hingga jatuh berserakan. Beberapa pedagang hendak turun tangan membela Zaid, tetapi pemuda itu mengangkat tangannya memberi isyarat agar mereka tetap tenang.
“Biarkan. Mungkin beliau sedang membawa beban yang tidak kita ketahui.”
Tak jauh dari tempat itu, Ali bin Abi Thalib r.a. mengamati kejadian tersebut. Beliau tersenyum, kemudian menghampiri Zaid.
“Banyak orang terlihat baik ketika diperlakukan baik,” ujar Ali.
“Tapi engkau tetap tenang walau disakiti. Kini aku tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Akhlak Sejati: Terlihat Ketika Diuji, Bukan Dipuji
Peristiwa itu memberi pelajaran besar bagi seluruh pedagang pasar. Akhlak bukan sekadar senyum ketika dipuji atau diperlakukan baik, tetapi kemampuan menahan diri saat dicaci atau dizalimi.
Allah berfirman:
“Balaslah kejahatan dengan cara yang lebih baik. Maka orang yang antaramu dan dia ada permusuhan akan menjadi seperti teman yang sangat setia.”
(QS. Fussilat: 34)
Allah juga memuji orang-orang yang mampu menahan marah:
“(Yaitu) orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.”
(QS. Ali ‘Imran: 134)
Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah orang kuat itu yang menang bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap Zaid mencerminkan akhlak para sahabat: sabar, menahan diri, dan tidak dikuasai amarah. Inilah akhlak yang diuji, bukan akhlak yang sekadar dipuji.
Akhir yang Menyejukkan
Keesokan harinya, pria tua itu kembali dengan wajah penuh penyesalan. Ia menangis dan meminta maaf atas perbuatannya. Tanpa ragu, Zaid memeluknya dan berkata:
“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semoga Allah menenangkan hatimu.”
Inilah akhlak yang diajarkan Rasulullah SAW—akhlak yang melampaui dorongan balas dendam, berdiri di atas kasih sayang, dan mampu menyembuhkan luka yang tidak terlihat.
Sebagaimana sabda Nabi:
“Rahmatilah siapa yang di bumi, niscaya Yang di langit akan merahmati kalian.”
(HR. Tirmidzi)
Penutup
Kisah Zaid mengajarkan kita bahwa:
- Akhlak sejati tampak saat seseorang diuji, bukan dipuji.
- Menahan amarah adalah ciri orang yang dicintai Allah.
- Memaafkan adalah kemuliaan, bukan kelemahan.
- Kelembutan dapat menyembuhkan hati yang sedang luka.
Semoga kita mampu meneladani akhlak mulia ini, agar hati kita semakin dekat dengan akhlak Rasulullah SAW.


