Jakarta, infoDKJ.com | Rabu, 30 April 2025
PERIODE MADINAH
Perang Badar ke Dua
Pasukan Quraisy sudah berjalan selama 2 hari dan tiba di Zahran dan bermalam di Majannah, sebuah pangkalan air di daerah itu. Namun hati Abu Sufyan semakin berat.
Ia memikirkan lagi akibat peperangan dengan kaum muslimin. Ketakutan membayangi hatinya. Puncaknya Abu Sufyan berusaha mencari alasan untuk pulang.
“Saudara-saudara Quraisy”, “sebenarnya yang cocok buat kita berperang hanyalah dalam musim subur”, “sedang sekarang kita dalam musim kering”. “Maka dari itu pulang sajalah kita sekalian.”
KISAH RASULULLAH ﷺ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Kemenangan terusirnya Bani Nadhir ini membuat pengaruh Rasulullah saw, bertambah kuat di Madinah. Suasana Madinah pun menjadi tentram setelah Bani Nadhir dikeluarkan. Hati mereka semua lega dengan suasana yang begitu tenang, tentram dan aman.
Kaum Muhajirin kini dapat hidup mandiri berkat tanah-tanah yang dibagikan dan itu membuat orang-orang Anshar turut bergembira.
Menuntut Balas Terbunuhnya Para Da’i
Beliau pun semakin mendapat kesempatan untuk menumpas orang-orang Arab Badui, yang selama ini sering mengganggu kaum muslim sesusai Perang Uhud dan pernah berniat menyerang Madinah.
Suatu hari Nabi saw mendapat kabar dari mata-mata di Madinah. Diberitakan bahwa orang-orang Arab Badui, Bani Maharib dan Bani Tsalabah telah bersatu untuk menyerang kaum Muslim. Rasulullah saw, langsung bertindak menuju ke tempat mereka berkumpul.
Kaum Muslim berangkat menuju daerah sahara sekitar Najid untuk membalas atas terbunuhnya 70 orang para da’i penyebar dakwah yang hafal Qur’an pada peristiwa Raji dan Bi’ir Maunah.
Rasulullah saw melancarkan berbagai operasi terhadap kabilah-kabilah Badui yang selama ini biasa melakukan tindakan kekerasan, perampokan. Akhirnya benar-benar ketakutan, hingga setiap mendengar berita akan datangnya kaum Muslim, buru-buru mereka bersembunyi.
Tindakan tegas ini terbukti cukup menakutkan orang-orang Arab Badui yang buas hingga mereka tidak berani lagi berbuat jahat terhadap kaum Muslim, lantas mereka lari tunggang langgang dan bertahan di puncak bukit.
Menunggu Pasukan Abu Sufyan dari Makkah
Namun peristiwa Perang Uhud sudah hampir setahun berlalu, Rasulullah ﷺ teringat ancaman Abu Sufyan yang diucapkan ketika Perang Uhud berakhir,
“Yang sekarang ini untuk peristiwa Perang Badar. Sampai jumpa tahun depan.”
Kata-kata itu adalah tantangan untuk bertempur lagi di lembah Badar.
Rasulullah ﷺ mewaspadai apa yang akan dilakukan orang-orang Quraisy.
Kekhawatiran beliau ternyata benar-benar terjadi karena tidak lama kemudian, tibalah seorang utusan Quraisy dan membawa sebuah pesan.
Utusan Quraisy itu bernama Nu’aim bin Mas’ud.
Ia tiba di Madinah dan mengabarkan dengan menakuti-nakuti kaum Muslim:
“Orang-orang Quraisy telah mengerahkan tentaranya dalam jumlah yang begitu besar dan tidak ada taranya dalam sejarah bangsa Arab.”
“Tentara besar itu kini sudah bergerak ke lembah Badar, mereka siap memerangi kalian sekaligus meluluhlantakkan kalian hingga tidak bersisa.”
“Jika kalian berani pergi ke lembah Badar, kalian akan mati bergelimpangan.”
Mendengar berita itu banyak kaum muslimin menunjukkan keengganannya.
“Lebih baik kita abaikan saja tantangan itu.”
Akan tetapi Rasulullah ﷺ menjadi marah terhadap sikap lemah dan ingin mundur itu. Rasulullah ﷺ bahkan bersumpah bahwa beliau akan tetap pergi ke Badar walau seorang diri.
Melihat kemarahan Rasulullah ﷺ itu, lenyaplah rasa ragu dan takut di hati kaum muslimin. Mereka segera pulang ke rumah dan menyiapkan segala sesuatunya: bekal makanan, senjata dan berpamitan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Guna memenuhi janji Rasulullah saw dan Abu Sufyan usai Perang Uhud untuk berperang kembali tahun depan, pada bulan Sya’ban 4 Hijrah (Januari 626 Masehi), Rasulullah saw dan Abu Sufyan kembali mengerahkan pasukannya masing-masing.
Rasulullah saw pergi ke Badar pada hari yang dijanjikan dengan 1.500 orang prajurit.
Pasukan ini diperkuat dengan 10 orang penunggang kuda. Bendera di tangan Abu Talib, dan penguasaan Madinah diwakilkan kepada Abdullah bin Rawahah.
Di bawah komando Rasulullah ﷺ langsung, pasukan berangkat meninggalkan Madinah.
Abu Sufyan membawa 2.000 prajurit, diperkuat dengan 50 penunggang kuda.
Pasukan Quraisy Mengundurkan Diri Sebelum Bertempur
Sebenarnya Abu Sufyan sendiri enggan berperang pada tahun ini, musim kering tengah mengganas.
Harapan Abu Sufyan sebenarnya agar perang diadakan pada waktu lain saja.
Namun ia terlanjur melepaskan kata-kata tantangan pada Perang Uhud akhir itu.
Karena itu ia tidak mungkin tidak berangkat memenuhi tantangannya sendiri.
Hal itu akan membuat cemar Quraisy di mata orang-orang Arab.
Akhirnya Abu Sufyan memutuskan untuk mengirim Nu’aim masuk ke Madinah untuk menakuti-nakuti kaum Muslim.
Nu’aim disuruhnya mengeluarkan kata-kata untuk menggertak kaum muslimin dan melemahkan semangat mereka.
Walaupun demikian Abu Sufyan tetap memimpin pasukan sebesar 2.000 orang.
Mereka keluar dari Mekkah tidak dengan semangat sebesar dulu ketika menyongsong Perang Uhud.
Apalagi mereka juga mendengar bahwa kaum muslimin telah menanti mereka di lembah Badar dengan semangat tinggi.
Syaja’ah adalah keberanian
“Orang yang disebut berani adalah orang yang tidak gentar menghadapi bahaya dan menghindarkan bahaya yang lebih besar.”
“Ia maju menghadapi kesulitan karena yakin bahwa dibalik kesulitan itu akan lahir sebuah kebahagiaan.”
Syaja’ah adalah keberanian, itulah yang dipunyai kaum Muslim saat itu.
Kemenangan
Pasukan Quraisy sudah berjalan selama 2 hari dan tiba di Zahran dan bermalam di Majannah, sebuah pangkalan air di daerah itu.
Namun hati Abu Sufyan semakin berat.
Ia memikirkan lagi akibat peperangan dengan kaum muslimin.
Ketakutan membayangi hatinya.
Puncaknya Abu Sufyan berusaha mencari alasan untuk pulang.
Abu Sufyan berkata kepada teman-temannya:
“Saudara-saudara Quraisy,”
“Sebenarnya yang cocok buat kita hanyalah dalam musim subur,”
“Sedang sekarang kita dalam musim kering.”
“Saya sendiri mau kembali pulang,”
“Maka dari itu pulang sajalah kamu sekalian.”
Tidak ada yang menentang pendapat itu,
karena semua prajurit Makkah juga dilanda ketakutan yang sama.
Tidak satu pun di antaranya yang tetap berjalan dan ingin berperang dengan kaum Muslim.
Akhirnya pasukan Quraisy pun kembali pulang.
Sementara itu Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin terus-menerus menantikan mereka selama 8 hari.
Kesempatan itu digunakan kaum muslimin untuk berdagang. Perdagangan itu menghasilkan keuntungan yang banyak. Kaum muslimin pun kembali ke Madinah dengan gembira, karena Allah telah memberikan keberuntungan yang demikian besar.
“Berita mengejutkan, saudara-saudara!” seru seorang Arab pedalaman kepada orang-orang di sukunya.
“Orang-orang Quraisy mengundurkan diri sebelum bertempur, sementara Muhammad dan para sahabatnya menunggu mereka di Badar selama berhari-hari!”
Temannya berdiri dan meludah ke tanah,
“Pengecut! Padahal mereka telah memukul Muhammad di Uhud! Jika terus begini, maka kesudahannya orang-orang Mekkah sudah dapat diramalkan dari sekarang! Akan mengalami kekalahan.”
Dengan demikian, Perang Badar ke 2 telah berakhir. Itu benar-benar telah menghapus kemenangan Quraisy pada Perang Uhud. Tindakan pengecut Quraisy yang menarik diri sebelum tiba di tempat pertempuran telah membuat nama mereka tercemar melebihi ketika mereka kalah pada Perang Badar pertama.
Sementara itu walaupun pasukannya mendapatkan kemenangan, Rasulullah ﷺ tetap waspada. Terbukti, tidak lama setelah itu terdengar berita bahwa pasukan Bani Ghathafan dari Najd tengah berkumpul untuk menyerang Madinah dalam jumlah yang sangat besar.
Maka kesudahannya
(terbukti di kemudian hari Makkah dikuasai kaum Muslim)
Shallu ‘alan Nabi…
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
(Bersambung ke Episode 107...)
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri