Oleh: Ahmad Hariyansyah
Pada suatu hari di bulan Muharram, suasana hening dan penuh hikmah menyelimuti sebuah majelis kecil di rumah panggung seorang Kyai yang disegani. Para santri duduk bersimpuh dengan khidmat, menyimak petuah sang guru. Setelah perbincangan umum selesai, tiba-tiba sang Kyai berkata,
“Wahai anak-anak Bapak, ibadahlah dari yang mudah-mudah saja dahulu.”
Pesan singkat itu diucapkan penuh kehangatan, dengan sapaan kekeluargaan yang mencerminkan kedekatan batin antara guru dan murid.
Tak lama, Kyai bangkit dan beranjak ke ruang lain, tanda majelis telah usai. Satu per satu santri turun dari rumah panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu, lalu berjalan menuju teras masjid. Dalam perjalanan, salah satu dari mereka bertanya, “Wahai saudara-saudaraku, adakah yang memahami maksud pesan Pak Kyai tadi?”
Sejenak hening. Lalu Ahmad, salah satu santri, menjawab dengan rendah hati, “Saudaraku, menurut pemahaman saya, yang dimaksud Pak Kyai adalah memulai ibadah dari hal-hal ringan, yang mudah dilakukan, namun tetap bernilai tinggi di sisi Allah.”
Ahmad mencontohkan, “Seperti memindahkan ranting yang jatuh di tengah jalan ke pinggir, agar tidak membahayakan orang lain. Ibadah itu ringan, tak perlu biaya besar, namun bisa menyelamatkan orang lain, apalagi di malam hari.”
Para santri pun mengangguk setuju. Mereka sadar, pesan sang Kyai bukan sekadar ajakan beribadah, tetapi juga pengingat untuk berakhlak mulia—memperhatikan keselamatan orang lain, menumbuhkan kepedulian, dan menghadirkan manfaat bagi sesama.
Makna Ibadah dalam Perspektif Akhlak dan Sosial
Dalam ajaran Islam, ibadah tidak hanya berbentuk ritual, tetapi juga mencakup perilaku sehari-hari. Rasulullah ï·º bersabda:
“Iman itu memiliki lebih dari enam puluh cabang, yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, sedangkan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa menyingkirkan halangan dari jalan adalah bagian dari iman. Ibadah tidak selalu berbentuk amalan besar seperti haji atau puasa sunnah, tetapi juga tindakan kecil yang bermanfaat bagi orang lain—asal dilakukan dengan niat tulus dan keikhlasan.
Asah, Asih, dan Asuh: Pilar Akhlak Sosial
Nilai yang terkandung dalam kisah ini sejalan dengan falsafah asah, asih, dan asuh—ajaran luhur yang dikenal dalam budaya Nusantara maupun Islam:
- Asah – Saling mengingatkan dan meningkatkan kualitas diri. Ahmad memberi pemahaman kepada teman-temannya dengan rendah hati.
- Asih – Menumbuhkan rasa cinta dan peduli. Memindahkan ranting dari jalan adalah bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada orang yang tidak dikenal.
- Asuh – Membimbing dan mendampingi dalam kebaikan. Kyai memberikan pesan yang sederhana, namun sarat makna, membiarkan santrinya merenung dan mengambil hikmah.
Penutup
Kisah ini mengajarkan bahwa ibadah sejati tidak selalu tampak besar atau mencolok. Justru ibadah kecil yang dilakukan dengan niat tulus dan membawa manfaat nyata bagi orang lain adalah fondasi akhlak mulia.
Dengan menanamkan nilai asah, asih, dan asuh dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat membentuk masyarakat yang saling mencintai, menghargai, dan menumbuhkan kebaikan bersama.
Mulailah dari yang mudah. Mulailah dari yang kecil. Mulailah dari diri sendiri—karena dari sanalah kebesaran ibadah bermula.