Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 13 Mei 2025
PERIODE MEDINAH
KISAH RASULULLAH ﷺ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
"Mengapa ayah tampak berduka?" tanya Fatimah lembut.
"Bukankah Ayah baru saja membuat kemenangan yang belum pernah dilakukan Suku Arab mana pun dengan mengalahkan pasukan Ahzab dan Bani Quraizhah? Atau Ayah kini sedang teringat kepada *almarhumah Ibuku, Khadijah?”
Rasulullah ﷺ hanya menjawab dengan linangan air mata yang bergulir di kedua pipi beliau.
Fatimah menarik kesimpulan bahwa duka Rasulullah ﷺ adalah akibat kerinduan beliau kepada Makkah, tanah air kaum Muhajirin. Apalagi, saat itu adalah bulan Dzulhijjah, saat musim haji akan segera tiba.
Permusuhan dengan Kaum Yahudi Belum Berakhir
Dengan hancurnya kekuatan Bani Quraizhah, ternyata tidak berakhirnya permusuhan kaum Yahudi. Beberapa kelompok gembong Yahudi yang bergabung dengan pasukan Ahzab memasuki daerah Khaibar (daerah di mana Nabi pernah diracun).
Salah satu provokator Perang Ahzab adalah penjahat Yahudi Abu Rafi`, berasal dari Hijaz dan berprofesi sebagai pedagang. Rekam jejaknya diingat-ingat terus oleh kaum Muslim.
Karena itu, sesudah memerangi kaum Bani Quraizhah, orang-orang dari Bani Kharraj meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk membunuhnya.
Perbentengan Yahudi ini masih kokoh dan kuat kekuatannya. Di antara tokoh Yahudi itu adalah Abu Rafi bin Ubay, temannya Hujay yang turut berkeliling mendatangi berbagai kabilah untuk menyerang kaum Muslim di Madinah waktu itu.
Mereka sekarang mempersiapkan kembali rencana menyerang Madinah. Kaum Muslimin tetap waspada terhadap dendam kesumat tersebut dan tidak boleh membiarkannya tumbuh sepanjang zaman.
Untuk itu berangkatlah lima orang dari kaum Muslimin dari kalangan Kabilah Kharraj ke Khaibar dipimpin oleh Abdullah bin Atik dengan maksud mengambil tindakan tegas terhadap Abu Rafi`, dan sekaligus menanamkan rasa takut di kalangan pengikutnya. Rasulullah ﷺ berpesan melarang pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak.
Setibanya di Khaibar, mereka langsung menuju rumah Rafi`. Ketika itu hari menjelang malam. Dekat benteng Khaibar, Abdullah bin Atik berkata kepada para sahabatnya:
"Kalian tinggal saja di sini, aku akan pergi seorang diri… tunggulah sampai aku datang …."
Dalam pengalamannya, ia menceritakan:
"Aku berencana hendak memanjat tembok masuk ke dalam benteng. Tiba-tiba kulihat pelayan keluar, khawatir ketahuan, aku tutup kepalaku dengan kain seperti orang buang hajat…"
"Orang Yahudi yang masih berada di luar berdatangan hendak masuk benteng. Kudengar penjaga gerbang berkata, 'Siapa yang mau masuk supaya cepat-cepat sebelum pintu saya tutup!' Aku menyelinap masuk dan bersembunyi di tempat penambatan kuda dekat pintu…"
"Saat itu terlihat Abu Rafi dan sahabatnya sedang mabuk bersama-sama kawan-kawannya. Mereka bergadang hingga larut malam, setelah itu kawan-kawannya pulang ke tempatnya masing-masing. Keadaan sunyi senyap dan tak kedengaran lagi suara apa pun juga…"_ _"Aku keluar dari persembunyian, aku tahu di mana penjaga pintu menaruh kuncinya. Setelah kunci aku ambil, lantas menuju pintu-pintu kamar mereka, lalu kamar mereka *aku kunci dari luar* semuanya."_ _"Lalu aku segera memanjat menuju kamar tempat kediaman Abu Rafi. Kulihat rumahnya gelap gulita, karena lampu rumahnya telah dipadamkan. Aku tidak tahu di mana Abu Rafi` berada! Karena aku memanggil-manggil:
'Hai Abu Rafi!' Ia menyahut, 'Siapa?' Aku menuju ke arah suara itu dan aku memukul dengan pedangku dan ternyata pukulanku meleset dan ia berteriak~"_ _"Aku cepat-cepat mendekatinya dengan seolah-olah membantunya. Aku bertanya, 'Kenapa Engkau, wahai Abu Rafi?' Dengan suara kubuat seolah aku adalah temannya. 'Kurang ajar, ada orang yang masuk hendak membunuhku dengan pedang!' katanya."
"Ia kupukul lagi, ia berteriak dan keluarganya mulai bangun. Ia kupukul untuk yang ketiga kalinya hingga terkapar di lantai, kupotong tubuhnya. Seluruh keluarganya mulai ribut dan aku lari keluar kebingungan."
"Sampai di sebuah tangga aku terjatuh dan kakiku terkilir. Aku terus berlari dengan kaki terpincang-pincang hingga tiba di tempat teman-temanku menunggu… dan kami berlima langsung pulang ke Madinah."
Setelah terjadinya serentetan peristiwa berat, mulai dari Perang Ahzab hingga terbunuhnya Abu Rafi`, orang-orang kafir mulai jera. Kehidupan Islam tambah mantap dan kehidupan pun semakin tenang, senang, dan tenteram.
Kerinduan akan Makkah Sudah di Pelupuk Mata
Dalam tahun-tahun pertama di Madinah itu, beberapa muslimah Muhajirin pun sudah melahirkan.
Di antaranya adalah putri Rasulullah ﷺ, Fatimah az-Zahra.
Putra pertama Fatimah bernama Hasan dan yang kedua bernama Husein.
Rasulullah ﷺ sangat senang bermain dengan kedua cucunya itu.
Suatu ketika, Rasulullah ﷺ memandangi dalam-dalam Hasan dan Husein yang sedang berlarian di hadapannya. Anak-anak ini lahir di perantauan, sama sekali belum mengenal Makkah, tanah air mereka.
Hasan mengejar Husein yang bersembunyi di dalam kamar. Sambil berteriak kegirangan, Husein kabur dan melompat ke punggung kakeknya. Fatimah hendak mencegah perbuatan itu, namun Rasulullah ﷺ mengisyaratkan agar mereka dibiarkan.
Fatimah yang sangat dekat dengan ayahnya itu segera menangkap isyarat lain di mata Rasulullah ﷺ.
"Mengapa ayah tampak berduka?" tanya Fatimah lembut.
"Bukankah Ayah baru saja membuat kemenangan yang belum pernah dilakukan Suku Arab mana pun dengan mengalahkan pasukan Ahzab dan Bani Quraizhah? Atau Ayah kini sedang teringat kepada *almarhumah Ibuku, Khadijah?”
Rasulullah ﷺ hanya menjawab dengan linangan air mata yang bergulir di kedua pipi beliau.
Fatimah tahu yang paling baik ialah membiarkan ayahnya tercinta bermain dengan cucu-cucu sampai dukanya hilang.
Bersama suaminya, Ali bin Abi Thalib, Fatimah menarik kesimpulan bahwa duka Rasulullah ﷺ adalah akibat kerinduan beliau kepada Makkah, tanah air kaum Muhajirin. Apalagi, saat itu adalah bulan Dzulhijjah, saat musim haji akan segera tiba.
Akhirnya, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah pun larut dalam kedukaan itu. Mereka terkenang negeri tempat mereka dibesarkan.
Bagaimanakah keadaan Makkah kini setelah mereka tinggalkan? Walau kebun-kebun hijau Madinah menyejukkan hati, hamparan kota putih Mekkah juga selalu terindukan siang malam.
Semua kaum Muhajirin sangat rindu untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Sebagai penduduk Makkah, mereka jugalah pemilik Rumah Tua Ka’bah yang diberkati.
Kini, Quraisy merintangi kaum Muslimin pergi berhaji. Itu benar-benar tidak adil, karena siapa pun bisa berhaji ke Makkah. Dari dahulu, pihak-pihak yang bermusuhan selalu bisa saling bertemu dengan damai di Makkah dalam bulan haji.
Shallu Alan Nabi…!
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Bersambung ke bagian 119...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri
