Jakarta, infoDKJ.com | Premanisme bukan hal baru di Indonesia. Dari pasar, terminal, hingga tempat parkir liar, aksi-aksi yang meresahkan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama di kota-kota besar. Meski razia demi razia rutin dilakukan, seperti yang dilakukan Polri dan Satpol PP, masyarakat tetap merasa belum aman. Lalu, apa yang salah?
Premanisme Bukan Sekadar Kriminal Jalanan
Hingga hari ini, Indonesia belum punya undang-undang khusus yang mengatur premanisme. Aparat hanya mengandalkan pasal-pasal umum dalam KUHP, seperti pemerasan atau kekerasan. Padahal, dalam praktiknya, premanisme seringkali melibatkan jaringan yang terorganisir, bahkan terhubung dengan bisnis ilegal dan narkoba. Tanpa aturan yang spesifik, razia hanya menyasar pelaku kecil, bukan otak di balik jaringan.
Contohnya, razia besar-besaran di Bogor pada Februari 2025 yang menjaring 36 orang, 15 di antaranya positif narkoba. Polri juga mencatat ribuan kasus telah “diselesaikan”. Tapi faktanya, preman-preman itu hanya pindah lokasi atau kembali beraksi begitu aparat pergi.
Koordinasi Lemah, Masyarakat Tak Dilibatkan
Di lapangan, lemahnya koordinasi antarinstansi jadi masalah klasik. Polisi, Satpol PP, dan Pemda sering bekerja sendiri-sendiri. Tanpa strategi bersama, razia lebih mirip pertunjukan ketimbang solusi. TIMES Malang bahkan menyebutnya sebagai “pemadam kebakaran”—bertindak saat sudah terbakar, bukan mencegah sebelum api muncul.
Lebih parah lagi, masyarakat yang jadi korban sering kali memilih diam. Mereka takut dibalas atau tak percaya laporan mereka ditindaklanjuti. Praktik “uang keamanan” pun masih merajalela, karena dianggap lebih praktis daripada menghadapi risiko kekerasan.
Akar Masalah: Perut Lapar dan Hidup Sulit
Realitas pahitnya, banyak pelaku premanisme adalah orang-orang yang terpinggirkan. Tak punya pekerjaan tetap, tak punya akses pendidikan, dan terjebak dalam kerasnya hidup di kota. Jika hanya ditangkap tanpa diberi alternatif hidup, mereka akan kembali ke jalanan. Solusi sosial seperti pelatihan kerja, pendampingan, dan pemberdayaan nyaris tak terdengar dalam strategi pemberantasan premanisme.
Premanisme Jadi Ancaman Nasional
Masalah ini bahkan telah mencoreng wajah Indonesia di mata internasional. Media asing seperti South China Morning Post menyebut Indonesia sebagai negara yang dikuasai gangster. Premanisme bukan lagi sekadar gangguan kecil, tapi ancaman serius bagi iklim investasi, termasuk dalam sektor mobil listrik yang tengah digalakkan pemerintah.
Apa yang Harus Dilakukan?
Indonesia perlu berani mengambil langkah besar. Pertama, buat undang-undang khusus yang mengatur premanisme secara jelas dan tegas. Kedua, bentuk satuan tugas terpadu lintas lembaga yang didukung teknologi untuk melacak dan membongkar jaringan preman. Ketiga, hadirkan solusi jangka panjang—buka akses pekerjaan, pendidikan, dan perlindungan hukum bagi masyarakat korban premanisme.
Dan yang paling penting, libatkan masyarakat. Edukasi hukum dan sistem pelaporan yang aman harus disediakan agar publik berani bersuara tanpa takut. Masyarakat bukan sekadar penonton, tapi mitra dalam menjaga ketertiban.
Kesimpulan: Jangan Cuma Gertak, Tapi Tuntaskan
Razia preman selama ini hanya menyingkirkan permukaan dari masalah yang jauh lebih dalam. Jika Indonesia ingin benar-benar bebas dari premanisme, maka pendekatannya harus menyeluruh—hukum, sosial, ekonomi, dan partisipasi masyarakat. Premanisme bukan hanya soal kriminalitas, tapi juga tentang keadilan sosial yang belum tuntas.
(Red.Pijar/Akiem)