Jakarta, infoDKJ.com | SETARA Institute kembali merilis Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2024, yang menjadi barometer penting dalam menilai sejauh mana kota-kota di Indonesia mampu memelihara semangat toleransi di tengah keberagaman. Tahun ini, Salatiga muncul sebagai kota paling toleran, menggeser posisi Singkawang yang sebelumnya bertengger di puncak.
IKT bukan sekadar angka. Ia menjadi cermin bagaimana kota merangkul perbedaan, menjaga kerukunan, dan menciptakan ruang aman bagi warganya, apa pun latar belakang agama, etnis, dan keyakinannya.
“Tujuannya jelas: mempromosikan praktik baik dalam pengelolaan keberagaman dan membangun kota yang inklusif,” ujar tim riset SETARA, dalam peluncuran laporan, Selasa (27/5/2025).
Kota-kota yang Maju dan yang Tertinggal
Salatiga meraih skor 6,544, berkat keberhasilan pemerintah kotanya merancang dan menerapkan regulasi yang berpihak pada nilai-nilai toleransi, serta keberanian dalam menangani potensi konflik sosial. Tak kalah menarik, Pematang Siantar mencatat lonjakan tajam dan kini bertengger di posisi lima besar. Kepemimpinan daerah yang berpikiran terbuka disebut sebagai faktor kunci dalam pencapaian ini.
Namun, tak semua kota menunjukkan tren positif. Kota Pagar Alam dan Sabang berada di posisi terbawah. Meski tak ada kebijakan diskriminatif yang mencolok, kurangnya inovasi dan tindakan konkret dalam membangun budaya toleransi menjadi catatan penting bagi kedua kota ini.
Lebih dari Sekadar Skor
IKT 2024 mengkaji 94 kota dari berbagai wilayah Indonesia. Penilaiannya mencakup kebijakan pemerintah daerah, tindakan aparat terhadap isu intoleransi, serta peran masyarakat sipil. Hasilnya? Skor rata-rata nasional berada di angka 4,92—sedikit menurun dari tahun lalu, tapi masih menunjukkan bahwa semangat toleransi di negeri ini belum luntur.
Saatnya Bergerak Bersama
SETARA Institute dalam laporannya mendorong agar pemerintah—baik pusat maupun daerah—lebih serius dalam mendukung upaya pemajuan toleransi. Diperlukan kebijakan yang inklusif, anggaran yang memadai, serta kepemimpinan yang progresif. Tak kalah penting, sinergi dengan masyarakat sipil menjadi kunci agar gerakan toleransi tidak berjalan sendiri.
Presiden dan para kepala daerah pun diimbau untuk lebih aktif memastikan bahwa pembangunan tak hanya bicara soal infrastruktur, tapi juga soal jiwa kebangsaan yang menghargai perbedaan.
Indonesia punya modal besar: keberagaman. Tapi keberagaman saja tidak cukup tanpa komitmen untuk menjaganya. Melalui IKT, semangat itu terus dihidupkan—dari kota ke kota, dari warga ke warga.
(Pray)