Jakarta, infoDKJ.com | Nama Pak Tarno, pesulap tradisional yang dikenal dengan mantra khas “Bim salabim jadi apa… prok-prok-prok!” kembali mencuat di media sosial setelah keberadaannya di kawasan Museum Sejarah Fatahillah, Kota Tua, viral dan dikaitkan dengan isu negatif.
Saat ditemui awak media dari Pokjawarkotu (Kelompok Kerja Wartawan Kota Tua) di area museum pada Sabtu (21/6/2025), Pak Tarno memberikan klarifikasi langsung terkait kabar tersebut.
“Saya ke sini bukan untuk mengemis. Saya hanya ingin jalan-jalan, menghirup udara segar, menghilangkan penat,” ungkap Pak Tarno sambil duduk didampingi istrinya.
Diketahui, saat ini Pak Tarno masih dalam masa penyembuhan pasca terkena stroke selama delapan bulan terakhir. Ia mengaku belum dapat kembali tampil dan belum memiliki pekerjaan atau pertunjukan sulap sejak terserang penyakit tersebut.
Berlokasi tidak jauh dari Kota Tua, tepatnya di kawasan Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Pak Tarno mengaku sesekali datang ke Fatahillah untuk sekadar bersantai dan bertemu masyarakat.
“Saya memang sedang tidak ada job, tapi datang ke sini hanya ingin jalan-jalan. Apalagi rumah saya juga dekat,” tuturnya.
Seiring dengan kepopulerannya, kehadiran Pak Tarno di kawasan wisata tersebut menarik perhatian pengunjung. Banyak yang mengenalinya dan mengajak berfoto bersama. Tak sedikit pula yang secara spontan menunjukkan simpati dengan memberikan sedikit rejeki, sebagai bentuk dukungan moral terhadap kondisi kesehatannya.
Salah satu pengunjung, Sri, asal Jawa Tengah, mengaku senang bisa bertemu langsung dengan pesulap idolanya.
“Saya senang bisa ketemu langsung Pak Tarno. Beliau sudah menemani masa kecil saya lewat acara sulap. Foto ini akan jadi kenang-kenangan,” ujarnya.
Menutup wawancara, Pak Tarno menyampaikan harapan kepada masyarakat agar mendoakan kesembuhannya.
“Doakan saya cepat sembuh ya, biar bisa kembali menghibur semuanya,” ucapnya penuh harap.
Meski kondisi kesehatannya belum pulih sepenuhnya, semangat Pak Tarno untuk tetap tersenyum dan berinteraksi dengan masyarakat membuktikan bahwa panggung hiburan sejati tidak hanya berada di layar kaca, tetapi juga dalam kedekatan dengan rakyat yang mencintainya.
(Pokjawarkotu)