OLEH : DIAN ISTIQOMAH , ANGGOTA DPR RI 2019-2024
Rancangan Undang – undang tentang pertanahan sudah sering dibahas di DPR , Dan rancangan tentang berdirinya Peradilan Pertanahan juga sudah banyak disuarakan para pemerhati hukum dan para praktisi hukum juga para wakil masyarakat yang duduk di senayan.
Namun sampai detik ini belum ada kesepakatan untuk dilanjutkan masuk dalam prolegnas, dalam perjalanannya Rancangan Peradilan Pertanahan yang harusnya berdiri sendiri selalu ditolak dalam rapat di baleg DPR RI .
Prinsip prinsip baru tentang hak tanah adat, hak penggunaan tanah, atau berbagai cara mekanisme penyelesaian sengketa masih dikembangkan dan belum diatur secara komprehensif dalam hukum positif
Berdirinya Peradilan khusus pertanahan diluar peradilan umum merupakan gagasan dan kebijakan yang relevan dengan zaman untuk mengurangi ketimpangan dan segera mewujudkan keadilan agraria sesuai dengan amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”, inilah yang menjadi landasan konstitusional dalam penataan penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah hutan dan kekayaan alam.
REALITA DI LAPANGAN
Ada beberapa alasan mendasar mengapa Peradilan Pertanahan perlu berdiri sendiri:
Pertama, Sengketa pertanahan yang semakin komplek. Sengketa pertanahan seringkali melibatkan aspek hukum publik, hukum privat dan hak hak azasi manusia. Untuk penanganan yang tepat membutuhkan pemahaman mendalam mengenai hukum agraria yang belum tentu bisa dilakukan oleh Hakim Umum ( TUN ).
Kedua Tingginya volume sengketa tanah. Sengketa tanah merupakan bagian terbesar dari perkara perdata di pengadilan umum dan sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara ( PTUN ), ini semua menunjukan bahwa peradilan peradilan tersebut kewalahan menangani masalah pertanahan.
Ketiga, Keterbatasan penanganan dan keraguan masyarakat terhadap kapasitan Hakim Umum dan TUN. Hakim di Pengadilan umum mungkin tdk mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai hukum pertanahan.
Keempat, Dengan adanya peradilan pertanahan diharapkan penanganan perkara akan lebih cepat, tepat dan evisien sehingga dapat mengurangi beban kerja pengadilan umum dan mempercepat penyelesaian sengketa, sehingga kepastian hukum segera terpenuhi.
Kelima, Penyelesaian sengketa lebih adil sehingga bisa menunjang peningkatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
KEPASTIAN HAK ATAS TANAH
Urgensi pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan ini memang sudah saatnya didirikan di Republik Indonesia, melihat dari perkara atau sengketa pertanahan yang diliputi oleh hukum agraria secara subjektif dibedakan pengaturanntya dalam 3 periode, yaitu periode sebelum kemerdekaan, periode setelah kemerdekaan sebelum berlakunya UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok -Pokok Agraria ( UUPA ) dan Periode setelah berlakunya UU no.5 tahun 1960 tentang UUPA.
Terjadinya perubahan-perubahan peraturan yang dinamis dan komplek ini membuktikan kalau perkara pertanahan merupakan perkara yang rumit dan pembuktiannya tidak sederhana. Adanya kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam perkara sengketa tanah dapat mencederai kepastian hukum dan keadilan. Banyaknya putusan pengadilan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena data fisik tanah seperti letak, luas dan batas tanahnya dianggap tidak jelas , disebabkan oleh ketidakmampuan pengadilan memeriksa tempat sengketa secara tepat dan akurat.
Perkara pertanahan di Pengadilan Negri merupakan perkara perdata umum bukan perdata khusus dan berapapun nilai objek tanah tidak termasuk dalam sengketa, maka sering terjadi pada putusan pengadilan tingkat pertama selalu dapat diajukan hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali .Hal serupa juga terjadi pada senketa tanah di Peradilan TUN yang kebanyakan adalah gugatan pembatalan sertifikat hak atas tanah, ini bisa berlangsung sampai puluhan tahun.
Dengan adanya dua lingkungan peradilan yang berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pertanahan yaitu Pengadilan Negeri dan PTUN akan berpotensi timbulnya sengketa kewenangan dalam mengadili dan memberikan putusan. Selain itu muncul persoalan lain yaitu perbedaan putusan PN dan PTUN, dimana PN menyatakan pemegang sertifikat adalah pemilik tanah sedangkan PTUN menyatakan pembatalan sertifikat demi hukum, dan ini akan menyulitkan di lapangan .
Oleh sebab itu ketika Peradilan Pertanahan berdiri sendiri , ini akan memudahkan dan mempercepat putusan putusan perkara sengketa pertanahan secara profesional.
TANTANGAN YANG MENARIK
Rencana pembentukan Pengadilan Khusus Pertanahan adalah ide yang menarik, tetapi juga memiliki beberapa tantangan . Pembentukan pengadilan ini harus memepertimbangkan berbagai aspek, termasuk belum jelasnya kompetensi, beban biaya, perubahan hukum acara, dan perlawanan dari pengadilan umum.
Menyikapi berbagai problematika penanganan perkara pertanahan yang begitu rumit maka pembentukan peradilan khusus pertanahan ini adalah suatu keniscayaan yang bisa kita perjuangkan. Pengadilan Khusus Pertanahan ini merupakan pengadilan yang mempunyai kewenangan all in yaitu mengadili yang bersifat aspek perdata ( sengketa perkara kepemilikan ) maupun yang beraspek Tata Usaha Negara (TUN) / Hukum Administrasi menyangkut pertanahan, dan seandainya itu terjadi maka peradilan umum dan Tun dinyatakan tidak lagi berwenang mengadili masalah pertanahan.
Susunan Majlis Hakim di Pengadilan Khusus Pertanahan idealnya terdiri dari Hakim Karier yang mumpuni dan bersertifikasi penguasaan hukum acara pertanahan dan Hakim Ad Hoc yang ahli dan handal dari aspek subtansi hukum agraria dan hukum pertanahan. Para Hakim bisa diangkat dalam waktu tertentu berdasarkan seleksi yang melibatkan para profesional, akademisi, praktisi ataupun tokoh masyarakat/ ahli yang mempunyai keahlian dan pengalama dalam bidang pertanahan.
Hukum acara yang berlaku di Peradilan Khusus Pertanahan harus pula mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yaitu tidak terdapat upaya hukum banding tapi terdapat upaya kasasi di Mahkamah Agung, Namun tidak membuka kemungkinan upaya hukum Peninjauan kembali (PK) sebagaimana penyelesaian perkara di pengadilan hubungan industrial (PHI ).
Pertanyaan kita apakah para legislator saat ini masih konsisten menyuarakan kembali tentang terbentuknya Peradilan Pertanahan yang dari tahun ketahun masih di tolak dalam pembahasan prolegnas Indonesia?
(Amar)