Oleh: Ahmad Hariyansyah
Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan napas panjang kehidupan yang menghubungkan masa kini dan masa depan dengan akar masa silam. Dalam khazanah Islam dan budaya Nusantara, ada dua istilah penting yang sering hadir dalam percakapan spiritual dan sosial: silsilah dan washilah.
Silsilah secara bahasa berarti mata rantai. Dalam konteks sosial, ia merujuk pada hubungan biologis — garis keturunan yang menghubungkan satu generasi dengan generasi berikutnya. Sementara itu, washilah berarti perantara atau penghubung. Washilah dapat berupa ikatan spiritual, keilmuan, atau persahabatan yang tulus, meski tidak memiliki hubungan darah.
Silsilah dapat menjadi washilah, namun washilah belum tentu silsilah. Meski berbeda, keduanya sama-sama memiliki kedudukan mulia dalam sejarah dan spiritualitas Islam. Melalui keduanya, keberkahan dapat mengalir — baik keberkahan ilmu, kehidupan, maupun harta.
Silsilah Keilmuan dan Keberkahan Sanad
Dalam tradisi Islam, silsilah keilmuan dikenal sebagai sanad. Para ulama menekankan pentingnya mengetahui siapa guru dari guru, hingga tersambung kepada Rasulullah SAW. Hal ini bukan hanya soal validitas, tetapi juga soal adab terhadap ilmu. Ulama salaf berpesan:
“Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Mengetahui silsilah berarti menjaga kemurnian ajaran, sekaligus meraih keberkahan dari rangkaian guru yang ikhlas mengajar.
Washilah sebagai Jalan Mendekat kepada Allah
Washilah pun memiliki makna penting. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah washilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya...”
(QS. Al-Ma’idah: 35)
Washilah dalam ayat ini dipahami sebagai segala sarana yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya. Ia bisa berupa amal saleh, doa, istighfar, maupun guru yang membimbing. Menjaga washilah kepada guru, orang tua, ulama, atau pendahulu berarti menjaga jembatan keberkahan hidup.
Bahaya Memutus Rantai Sejarah
Melupakan silsilah dan washilah sama saja dengan memutus mata rantai sejarah. Akibatnya, identitas menjadi kabur dan keberkahan pun berkurang. Bung Karno pernah mengingatkan:
“Jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Dalam Islam, mengabaikan sejarah sama saja dengan kufur terhadap nikmat. Al-Qur’an pun dua pertiga isinya berisi kisah-kisah umat terdahulu — dari Nabi Adam hingga Ashabul Kahfi — yang semuanya menjadi cermin kehidupan.
Menghargai Guru, Menyambung Keberkahan
Secara spiritual, seseorang yang tidak menghormati guru, memutus hubungan keluarga, atau mencela pendahulunya, akan sulit merasakan keberkahan ilmu dan hidup. Rasulullah SAW bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak guru-gurunya.”
(HR. Ahmad)
Menjaga Jejak, Menjemput Rahmat
Di era serba instan ini, menjaga silsilah dan washilah adalah tugas mulia. Bukan untuk membanggakan asal-usul atau fanatisme kelompok, melainkan sebagai wujud syukur atas karunia sejarah yang membentuk diri kita.
Pada akhirnya, siapa yang menjaga jejak akan terarah melangkah. Dan siapa yang merawat washilah, akan semakin dekat dengan rahmat Allah.