Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam keseharian, interaksi sosial adalah bagian yang tak terelakkan. Kita hidup berdampingan, saling melihat, saling menilai, dan sering kali — tanpa sadar — saling mencampuri urusan orang lain, termasuk urusan ibadah.
Padahal, ibadah pada hakikatnya adalah hubungan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Ia adalah ruang privat spiritual yang tak layak diintervensi oleh siapa pun, kecuali bila dimintai bimbingan atau jika terjadi pelanggaran yang nyata terhadap syariat. Di luar itu, mencampuri ibadah orang lain bukanlah adab yang diajarkan dalam Islam.
Islam adalah agama yang paripurna. Ia tidak hanya mengatur ibadah lahiriah melalui ilmu fikih, tetapi juga mengatur ibadah batiniah yang dijelaskan melalui tasawuf. Untuk memahami agama ini secara menyeluruh, seseorang perlu menapaki empat lapisan atau maqam keislaman secara bertahap dan terpadu: syariat, thariqah, hakikat, dan ma’rifat.
Tahap syariat adalah permulaan: mempelajari rukun-rukun lahir dari ibadah, seperti tata cara shalat, puasa, zakat, dan lainnya. Inilah yang banyak dibahas dalam fikih. Namun Islam tidak berhenti pada gerak tubuh semata. Ia melangkah lebih dalam ke wilayah thariqah, yaitu jalan penyucian jiwa dan penyelarasan niat, di mana ibadah bukan sekadar ritual, tetapi latihan mengosongkan diri dari hawa nafsu.
Jika kedua tahap itu dijalani dengan konsisten, seseorang akan mencapai hakikat — kesadaran bahwa tujuan ibadah adalah meraih ridha Allah, bukan hanya menggugurkan kewajiban. Pada puncaknya, ia dapat menggapai ma’rifat, maqam di mana Allah menjadi tujuan tunggal dan sumber segala kesadaran spiritual.
Orang yang telah menapaki jalan menuju hakikat akan lebih sibuk memperbaiki dirinya sendiri daripada menilai kekurangan orang lain. Ia paham, menata niat, menjaga keikhlasan, dan mempertahankan istiqamah dalam ibadah bukanlah perkara ringan. Karena itu, ia cenderung diam ketika melihat perbedaan teknis ibadah orang lain, selama masih dalam koridor syariat yang dibenarkan.
Seorang kiai pernah memberi nasihat kepada santrinya: “Jangan sibuk mengurusi ibadah orang lain. Sibukkan dirimu memperbaiki ibadahmu sendiri.” Nasihat ini bukan berarti mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar, melainkan ajakan untuk menata niat agar tidak terjebak dalam perasaan paling benar.
Ibadah adalah cermin jiwa. Hanya pelakunya yang tahu seberapa ikhlas ia melakukannya, dan hanya Allah yang berhak menilai. Di zaman yang penuh penghakiman sosial ini, menjaga lisan dan hati dari mencela ibadah orang lain adalah bagian dari kemuliaan akhlak yang diajarkan Nabi SAW.
Maka, mari kita belajar menundukkan pandangan dan menajamkan kepekaan hati. Sebab bisa jadi, orang yang ibadahnya tampak sederhana di mata kita justru lebih dicintai Allah karena hatinya bersih dari riya’ dan dengki. Dan bisa jadi, kesibukan menilai ibadah orang lain justru menjadi penghalang bagi keikhlasan kita sendiri.
Akhirnya, dalam sunyi setiap sujud dan linangan doa di tengah malam, biarlah hanya Allah yang tahu bagaimana perjalanan hati kita menuju-Nya. Dan biarlah kita saling mendoakan, bukan saling menghakimi.