Jakarta, infoDKJ.com | Suasana haru bercampur amarah menyelimuti ruang sidang Prof. R. Oemar Senoadji, Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (7/8/2025). Sidang lanjutan kasus tabrak lari yang menewaskan Supardi (82), kembali digelar. Namun, keluarga korban semakin kecewa ketika mengetahui terdakwa, Ivon, mendapatkan penangguhan tahanan dengan alasan sakit.
Padahal, menurut kesaksian anak korban, Haposan, sehari setelah sidang pertama (31 Juli), Ivon justru terekam kamera sedang berbelanja di pasar dalam kondisi sehat.
"Kami punya videonya, dia jalan bawa belanjaan. Sehat-sehat aja kok, jadi alasan sakit itu sangat kami pertanyakan," ungkapnya tegas kepada awak media.
Tak kuat menahan emosi, salah satu kerabat korban bahkan menangis histeris di depan ruang sidang. Ia memohon agar keadilan ditegakkan dan terdakwa dijatuhi hukuman yang setimpal.
"Nyawa orang tua kami hilang sia-sia. Dia lari, tidak bertanggung jawab. Tolong hukum yang seadil-adilnya," ucapnya sambil terisak.
Kecelakaan Tragis Saat Jogging
Kecelakaan yang menewaskan Supardi terjadi pada 9 Mei 2025 pukul 05.30 WIB di Komplek Perumahan Taman Grisenda, tepat di depan kantor Sekretariat RW 10, Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara. Saat itu, Supardi sedang jogging pagi seperti biasanya. Tiba-tiba, sebuah mobil menabraknya dari belakang. Tubuh renta Supardi terhempas keras ke aspal. Sang pengemudi langsung kabur.
Beruntung, ada warga lain yang sedang olahraga pagi melihat kejadian itu dan segera melapor ke RW setempat. Koordinasi dengan petugas keamanan dilakukan cepat. Mobil pelaku akhirnya ditemukan terparkir di sebuah ruko dalam kompleks yang sama—kaca depannya pecah, bercak darah dan rambut korban masih menempel.
Namun saat dipanggil, Ivon—sang pengemudi—menyangkal. Ia bersikeras tidak menabrak manusia, melainkan tiang.
"Padahal buktinya jelas. Kaca pecah, ada darah, ada rambut. Tapi dia ngotot bilang cuma nabrak tiang," ujar anak korban.
Tiga Hari di ICU, Tak Ada Itikad Baik
Korban sempat dilarikan ke RS PIK dalam kondisi kritis. Selama tiga hari dirawat di ICU, tak satu pun dari pihak pelaku datang untuk menjenguk atau menyampaikan permintaan maaf.
"Papa saya berdarah-darah, kepalanya pecah. Selama tiga hari kami tunggu, tak ada satu pun keluarganya yang datang. Papa akhirnya meninggal tanggal 11 Mei," tutur anak korban pilu.
Sidang Berlanjut, Keluarga Desak Keadilan
Dalam persidangan Kamis kemarin, kuasa hukum terdakwa menyampaikan eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa. Majelis hakim menunda sidang dan menjadwalkan lanjutan minggu depan. Namun keputusan penangguhan tahanan Ivon, justru menjadi titik puncak kemarahan keluarga korban.
"Terdakwa menghilangkan nyawa orang tua kami dan tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Kami minta eksepsinya ditolak, dan hukum ditegakkan setegak-tegaknya," ujar Haposan.
Terdakwa Ivon dijerat Pasal 310 ayat 4 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, karena kelalaiannya yang menyebabkan kematian. Namun hingga kini, sikap Ivon dinilai jauh dari bertanggung jawab—bahkan setelah penangguhan tahanan diberikan, Ivon tak sekali pun menghubungi keluarga korban.
"Katanya pernah ke rumah saya pagi-pagi, tapi gak ketemu. Bahkan itu pun katanya, bukan dia langsung. Tidak ada ketulusan, tidak ada permintaan maaf," tutup Haposan.
Setelah sidang ditutup, Ivon memilih diam dan langsung meninggalkan ruang sidang tanpa sepatah kata pun. Kuasa hukumnya hanya berkomentar singkat,
"Kita ikuti prosesnya saja."
Harapan Terakhir: Keadilan Bagi Supardi
Kini, keluarga besar almarhum Supardi hanya bisa menggantungkan harapan mereka pada majelis hakim. Bukti-bukti sudah jelas, saksi-saksi sudah bicara, bahkan luka di hati mereka belum juga sembuh. Yang mereka pinta hanyalah satu: keadilan yang setimpal untuk nyawa ayah tercinta yang telah tiada.
(*/Red)