Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita diuji dengan sikap orang lain yang tidak menyenangkan, bahkan merugikan. Tidak semua orang mampu menghadapinya dengan jiwa yang lapang dan penuh kesabaran. Di sinilah salah satu ciri menonjol dari seorang sufi terlihat: kesabaran, pemaafan, dan penerimaan terhadap kehendak Allah (ridha).
Kisah Seorang Sufi Desa
Dikisahkan, di sebuah desa hiduplah seorang lelaki tua. Siang hari ia berkebun, malam hari mengajar mengaji. Sosoknya dikenal sebagai pribadi yang sangat sabar, tidak pernah terlihat marah kepada siapa pun, bahkan kepada orang yang menyakitinya.
Suatu hari, ia dan istrinya melihat kebun kacang panjang yang sudah siap dipanen. Banyak yang tampak lurus dan bagus. Keesokan harinya, ia datang sendirian untuk memetik hasil panen. Namun ternyata, sudah ada orang asing yang lebih dahulu memetiknya.
Ia tidak marah, tidak menegur, bahkan memilih bersembunyi agar orang tersebut tidak merasa terganggu. Setelah orang itu pergi, ia memetik sisa yang ada—hanya kacang panjang yang keriting dan tidak layak jual.
Saat istrinya heran mengapa yang dibawa pulang hanya hasil yang jelek, ia menjawab tenang:
"Yang bagus sudah diambil orang, Bu."
Ketika ditanya mengapa tidak ditegur, ia berkata:
"Biarlah... itu rezeki mereka."
1. Meneladani Akhlak Nabi: Memaafkan dan Tidak Membalas Keburukan
Sikap ini adalah cerminan firman Allah:
“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik; maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
(QS. Fussilat: 34)
Sang sufi desa itu memilih mengalah dan membalas keburukan dengan kebaikan, sebagaimana diajarkan Rasulullah ï·º.
Rasulullah ï·º bersabda:
"Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda:
"Siapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat dan memberinya pilihan bidadari yang ia kehendaki."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
2. Ridha terhadap Takdir dan Rezeki
Membiarkan orang lain mengambil hasil panennya tanpa mempermasalahkan hal itu adalah bentuk ridha terhadap qadar Allah, sebuah maqam mulia dalam tasawuf.
Allah berfirman:
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya."
(QS. At-Taghabun: 11)
Bagi seorang sufi, rezeki bukan sekadar materi yang terlihat. Rezeki adalah sesuatu yang sudah ditetapkan dan tidak akan tertukar.
Rasulullah ï·º bersabda:
"Ketahuilah, sesungguhnya jika seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu."
(HR. Tirmidzi, Hasan Shahih)
Penutup: Sufi Bukan Hanya Berjubah, Tapi Berjiwa Luhur
Kisah ini mengajarkan bahwa menjadi seorang sufi bukan hanya tentang pakaian, wirid, atau dzikir semata, melainkan tentang menghidupkan tasawuf dalam akhlak, terutama dalam hal:
- Menahan marah
- Memaafkan orang lain
- Tidak memperdebatkan hak duniawi
- Ridha terhadap keputusan Allah
Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, semangat sufistik inilah yang layak kita hidupkan kembali: menghadapi kehidupan dengan hati yang tenang, jiwa yang luas, dan akhlak yang lembut.