Oleh: Ahmad Hariyansyah
Di tengah kehidupan modern yang serba materialistik, kekayaan kerap diukur dari banyaknya harta, luasnya aset, dan kemewahan hidup. Ukuran sukses sering kali disamakan dengan saldo rekening dan jumlah barang yang dimiliki. Padahal, dalam kacamata tasawuf, kekayaan sejati bukanlah soal jumlah harta, melainkan soal mentalitas.
Bagi seorang sufi, mental kaya adalah keadaan hati yang lapang, jiwa yang tenang, dan rasa cukup atas pemberian Allah. Kekayaan tidak diukur dari apa yang ada di tangan, tetapi dari sikap terhadap apa yang ada di tangan itu.
Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi pilar utama paradigma kekayaan ala sufi. Kekayaan hati (ghina al-nafs) adalah kebebasan dari ketergantungan kepada makhluk, keterikatan terhadap dunia, dan perasaan cukup atas rezeki yang diberikan Allah.
Antara Harta dan Jiwa
Tak sedikit orang yang memiliki banyak harta namun tetap merasa miskin. Mereka hidup dalam kekhawatiran, selalu merasa kurang, dan senantiasa menuntut lebih. Sebaliknya, para sufi — meski hidup sederhana — justru merasakan kelimpahan batin yang membuat mereka lapang dalam memberi, tulus melayani, dan kokoh menghadapi ujian.
Hal ini selaras dengan firman Allah SWT:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).”
(QS. At-Thalaq: 2–3)
Para sufi meyakini bahwa rezeki bukan semata hasil kerja keras, melainkan anugerah dari Allah. Kekayaan duniawi tidak membuat mereka silau, sebab mereka paham hakikatnya hanyalah titipan yang fana.
Berbagi: Cermin Mental Kaya
Orang yang bermental kaya, meski hartanya terbatas, tetap mampu berbagi. Ia percaya bahwa memberi tidak akan mengurangi rezeki, bahkan justru menambah keberkahan. Ia tidak menunggu kaya secara materi untuk berbuat baik.
Sebaliknya, orang yang bermental miskin — walau bergelimang harta — sulit memberi. Ia khawatir kekayaannya berkurang, selalu merasa kurang, dan lebih senang menerima daripada memberi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Makna “tangan di atas” bukan hanya tentang memberi materi, tetapi juga melambangkan kemuliaan hati yang dermawan, lapang, dan tidak serakah.
Latihan Tasawuf: Menempa Jiwa Menjadi Kaya
Mental kaya tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari latihan batin yang terus-menerus — mujahadah (bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu), muraqabah (merasa diawasi Allah), dan tafakur (merenung).
Para sufi meneladani Rasulullah SAW, yang meski memiliki akses kekuasaan dan kekayaan, tetap hidup sederhana. Beliau menolak hidup mewah walau peluang terbuka lebar. Hatinya selalu penuh, meski rumahnya kadang kosong dari makanan.
Penutup
Mental kaya adalah bekal penting untuk menjalani hidup bermakna. Ia membuat seseorang tenang dalam kesempitan, dan tetap rendah hati dalam kelapangan. Dalam dunia yang semakin mengagungkan penampilan dan kepemilikan, mentalitas ini menjadi benteng kejernihan jiwa.
Tasawuf tidak melarang kekayaan, tetapi mengajarkan agar kekayaan tidak menguasai hati. Karena sejatinya, kaya bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa cukup kita merasa.