Oleh: Dani (Jurnalis)
Dalam perjalanan hidup, manusia sering mencari cinta pada sesama makhluk. Kita menggantungkan hati pada manusia, pada dunia, pada sesuatu yang sifatnya sementara. Kita berharap cinta itu kekal, padahal ia rentan pudar. Kita menginginkan kesetiaan abadi, padahal manusia hanyalah makhluk yang terbatas.
Padahal sejak awal, agama mengajarkan bahwa cinta sejati hanya berasal dari satu sumber: Sang Pencipta Cinta, Allah SWT.
Cinta Makhluk Selalu Punya Batas
Cinta manusia kepada manusia lain—orang tua, pasangan, anak, sahabat—adalah nikmat yang indah. Namun tetap saja, cinta itu punya batas:
- Ada saatnya hati berubah.
- Ada waktunya raga tak lagi bersama.
- Ada masanya cinta diuji, goyah, atau hilang.
Cinta manusia, betapapun indahnya, tidak pernah benar-benar sempurna.
Allah SWT berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian pasangan dari jenis kalian sendiri supaya kalian merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang.”
(QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menunjukkan bahwa cinta antara manusia hanyalah titipan, amanah, dan karunia. Sumbernya tetap satu: Allah.
Cinta Ilahi: Tidak Berubah, Tidak Mengecewakan
Cinta Allah berbeda dari cinta makhluk.
- Ia tidak berubah oleh waktu.
- Tidak berkurang oleh dosa, selama manusia bertaubat.
- Tidak terpengaruh oleh kondisi.
- Tidak memerlukan imbalan.
Allah mencintai hamba-Nya secara murni, tanpa pamrih, tanpa syarat duniawi.
Ketika manusia meninggalkan-Nya, Allah tetap membuka pintu kembali. Ketika manusia jatuh, Allah menuntun. Ketika manusia rapuh, Allah menguatkan. Ketika manusia tersesat, Allah yang memanggilnya pulang.
Inilah cinta sejati: cinta yang tidak pernah meninggalkan.
Mengapa Cinta Manusia Sering Mengecewakan?
Karena sering kali kita menempatkan manusia sebagai pusat cinta, bukan Allah. Padahal cinta tanpa landasan Ilahi akan mudah runtuh.
Cinta sejati itu seperti pohon besar:
Akarnya harus kuat tertanam pada iman,
Barulah cabangnya tumbuh menjadi kasih sayang antarsesama.
Jika cinta tidak dimulai dari Allah, maka ia mudah patah. Tetapi jika cinta dimulai karena Allah, maka ia menjadi ibadah, menjadi berkah, dan menjadi penuntun ke surga.
Cinta Sejati Hanya Dimiliki Mereka yang Mencintai Sang Pencipta
Cinta sejati bukan tentang siapa yang paling kita genggam, tetapi siapa yang paling kita kembalikan kepada Allah.
Hanya orang yang hatinya melekat kepada Allah yang mampu mencintai dengan benar:
- Ia mencintai tanpa menyakiti.
- Ia memberi tanpa mengharap balasan duniawi.
- Ia menjaga tanpa rasa memiliki yang berlebihan.
- Ia setia karena Allah yang memerintahkannya untuk setia.
Maka benar adanya:
Cinta sejati hanyalah milik mereka yang mencintai Sang Pencipta Cinta.
Menjadikan Allah sebagai Pusat Cinta
Bagaimana mencintai Allah lebih daripada makhluk?
- Dengan menaati-Nya, bahkan ketika sulit.
- Dengan mengingat-Nya, bahkan ketika dunia melalaikan.
- Dengan bersyukur, bahkan ketika diuji.
- Dengan menerima takdir, karena Allah lebih tahu yang terbaik.
- Dengan mendahulukan-Nya, sebelum mencintai siapa pun.
Ketika Allah menjadi pusat cinta kita, maka cinta kepada makhluk justru menjadi lebih kuat, lebih tulus, dan lebih damai.
Penutup: Cinta yang Tidak Pernah Pergi
Semua cinta dunia akan berakhir:
oleh jarak, oleh waktu, oleh kematian.
Namun cinta kepada Allah—dan cinta Allah kepada hamba-Nya—tidak pernah mati. Ia mengalir melewati dunia, mengiringi manusia hingga akhirat.
Maka carilah cinta manusia, tetapi sandarkan hati hanya kepada Allah.
Nikmati kasih sayang makhluk, tetapi percayalah cinta sejati hanya milik Sang Pencipta Cinta.
Karena yang menciptakan cinta, pastilah Ia yang paling tahu bagaimana memberi cinta yang paling sempurna.
