Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 16 September 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita diajarkan untuk selalu berkata jujur. Kejujuran adalah salah satu akhlak mulia yang diperintahkan dalam Islam. Namun, ada kondisi tertentu di mana ucapan yang tidak sesuai kenyataan justru diperbolehkan, bahkan bernilai pahala, selama tujuannya adalah mendamaikan dan menebar kebaikan.
Kisah Seorang Guru dan Dua Sahabat
Dikisahkan, seorang guru pernah mengaku “berbohong” demi mendamaikan dua sahabat yang berselisih. Keduanya sudah lama tidak bertegur sapa karena kesalahpahaman dan gengsi. Masing-masing menunggu pihak lain meminta maaf terlebih dahulu.
Sang guru kemudian menyampaikan kepada si A bahwa si B telah meminta maaf, dan sebaliknya ia mengatakan kepada si B bahwa si A sudah mengulurkan maaf. Dengan izin Allah SWT, keduanya pun luluh, saling memaafkan, dan kembali rukun sebagaimana sediakala.
Pertanyaannya, apakah “kebohongan” semacam ini dibenarkan dalam Islam?
Bohong yang Dibenarkan dalam Islam
Islam secara umum melarang kebohongan. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
(QS. At-Taubah: 119)
Namun, Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran dalam tiga keadaan:
- Dalam peperangan.
 - Untuk mendamaikan pihak yang berselisih.
 - Dalam hubungan suami istri untuk menumbuhkan cinta.
 
Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ memberikan kelonggaran pada ucapan manusia untuk berbohong kecuali pada tiga hal: dalam peperangan, untuk mendamaikan antara manusia, dan ucapan suami kepada istri atau istri kepada suami (dalam rangka menumbuhkan cinta).”
(HR. Muslim No. 2605)
Bahkan, dalam riwayat lain dijelaskan bahwa seseorang boleh berkata, “Aku mendengar dia mengatakan yang baik tentangmu,” meski belum tentu benar, selama niatnya untuk memperbaiki hubungan.
Mengapa Dibolehkan?
Islam menempatkan perdamaian dan persatuan umat lebih tinggi daripada sekadar mempertahankan kejujuran yang justru bisa memperpanjang permusuhan. Kebohongan yang dimaksud bukanlah untuk menipu, mencuri, atau merugikan, melainkan untuk mendamaikan hati yang retak.
Allah SWT berfirman:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) bersedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barang siapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka Kami akan memberinya pahala yang besar.”
(QS. An-Nisā’: 114)
Pelajaran yang Bisa Diambil
- Kejujuran adalah prinsip, tetapi perdamaian bisa menjadi prioritas dalam kondisi tertentu.
 - Niat menentukan nilai perbuatan — kebohongan yang bertujuan kebaikan dapat bernilai pahala.
 - Perdamaian lebih mulia daripada mempertahankan gengsi — hati yang damai jauh lebih berharga daripada ego yang terjaga.
 
Penutup
Kisah sang guru mengajarkan bahwa “bohong” yang dibolehkan bukanlah keburukan, melainkan jalan menuju kebaikan. Selama niatnya tulus, caranya tepat, dan tujuannya untuk mendamaikan, maka ia bisa menjadi amal mulia di sisi Allah SWT.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Maukah aku beritahu kalian derajat yang lebih tinggi daripada shalat, puasa, dan sedekah?”
Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda, “Mendamaikan antara dua orang yang berselisih, karena kerusakan hubungan di antara mereka itulah yang mencukur (agama).”
(HR. Abu Dawud No. 4919, At-Tirmidzi No. 2509)
