![]() |
| Dengan tangan mereka, perempuan Pulau Pari menanam, merawat, dan melindungi pulau — sekaligus menggerakkan ekonomi lokal untuk generasi yang akan datang. Faith for #SavePulauPari |
Jakarta, infoDKJ.com | Minggu, 14 September 2025
Pulau Pari, salah satu mutiara wisata Jakarta, menyimpan kisah getir yang jarang terdengar. Selama lebih dari satu dekade, warga setempat berhadapan dengan perusahaan yang mengklaim hampir seluruh tanah pulau. Padahal, pulau kecil di Kepulauan Seribu ini adalah ruang hidup yang diwariskan turun-temurun.
Dari konflik itu lahirlah sebuah gerakan perlawanan, dengan perempuan sebagai penopang utama. Melalui Kelompok Perempuan Pulau Pari, mereka berdiri di garda depan, melawan penggusuran sekaligus menggerakkan ekonomi warga agar tetap bertahan di tanah leluhur mereka.
Dari Konflik ke Solidaritas
Ketegangan meningkat ketika klaim perusahaan berhadapan langsung dengan penolakan warga, hingga melibatkan aparat. Beberapa tokoh bahkan sempat mengalami kriminalisasi dan harus menghadapi proses hukum yang melelahkan.
Ati Sukamti, salah satu perempuan yang aktif sejak awal, masih mengingat jelas momen itu.
“Kami perempuan berdiri di pagar depan, menghadang aparat yang ingin mengukur lahan. Ada rasa takut, tapi kalau kami diam saja, pulau ini bisa hilang,” kenangnya.
Dari pengalaman itu, lahirlah kesadaran untuk bersatu. Kelompok Perempuan Pulau Pari terbentuk sebagai wujud perlawanan kolektif.
![]() |
| Diskusi bersama Kelompok Perempuan Pulau Pari. Perempuan Pulau Pari berdiri tegak menjaga pulau dan laut mereka. Dari mengelola kebun hingga menggerakkan ekonomi lokal, mereka menjadi penjaga ruang hidup dan simbol ketahanan komunitas pesisir |
Pagar Betis, Kebun, dan Dapur
Perlawanan mereka tidak hanya dengan menghadang penggusuran. Para perempuan ini juga membuka kebun di lahan kosong, menjaga pantai tetap menjadi ruang publik, serta meneguhkan hak hidup warga melalui aktivitas sehari-hari.
Di dapur, kreativitas mereka menjadi kekuatan lain. Rumput laut diolah menjadi dodol dan manisan (tangkue), ikan asin menjadi produk unggulan, hingga makanan tradisional seperti blencong (keong sawah) dan umbi kecundang (suweg) dimanfaatkan sebagai pangan alternatif sekaligus obat tradisional.
“Kami ingin menambah penghasilan sekaligus menjaga pulau tetap milik warga. Dengan mengolah hasil laut dan tanaman, ada bukti nyata kalau kami memang hidup dan bekerja di sini,” ujar Ati, yang kini menjadi Bendahara Kelompok Perempuan Pulau Pari.
Ekonomi Kolektif dari Nol
Kesadaran untuk mandiri mendorong mereka mendirikan koperasi. Dengan iuran Rp15 ribu per bulan, mereka berhasil mengumpulkan modal sekitar Rp5 juta—ditambah doa dan tekad yang kuat.
Koperasi ini kini menjadi wadah simpan pinjam dengan sistem bergilir dan bunga kecil. Dari hasil penjualan ikan asin hingga produk olahan rumput laut, modal terus berputar, memperkuat solidaritas di antara anggota.
“Kurang lebih ada 50 perempuan yang terlibat. Kami ini sukarelawan. Ingatnya cuma satu: bagaimana Pulau Pari tidak dikuasai orang asing,” tegas Ati.
![]() |
| Ibu Ati Sukamti (berbaju putih) Bendahara Kelompok Perempuan Pulau Pari, menceritakan perjuangan warga Pulau Pari, khususnya peran perempuan dalam mempertahankan tanah mereka |
Harapan yang Tumbuh Bersama
Kelompok Perempuan Pulau Pari tidak berjalan sendiri. Mereka mendapat dukungan dari jaringan organisasi masyarakat sipil yang peduli pada isu lingkungan dan kemanusiaan. Namun, bagi mereka, dukungan terbesar adalah keberlanjutan perjuangan—agar pulau tetap lestari, laut tetap dikelola, dan warga bisa hidup bahagia.
Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, menegaskan bahwa tujuan perjuangan warga adalah keselamatan laut sekaligus keselamatan manusia.
“Kalau laut dikelola dengan baik, kita pun bisa hidup selamat dan bahagia. Nilai-nilai agama tidak pernah mengajarkan untuk merusak laut, tetapi untuk menjaganya demi kebaikan semua,” ujarnya.
Sementara itu, Parid Ridwanuddin, Campaign Manager GreenFaith Indonesia, menekankan tiga peran penting perempuan Pulau Pari:
- Penjaga kedaulatan pulau melalui aksi pagar betis menghadapi penggusuran.
- Pengelola lahan dan penjaga akses publik ke pantai timur Pulau Pari.
- Penggerak ekonomi lokal berbasis hasil laut dan tanaman sekitar.
Menjaga Pulau, Menjaga Kehidupan
Kisah perempuan Pulau Pari adalah kisah tentang keberanian melawan ketidakadilan sekaligus kebijaksanaan menjaga kehidupan. Bagi mereka, laut bukan sekadar sumber daya, melainkan rumah, identitas, dan masa depan anak-anak mereka.
Selama perempuan Pulau Pari berdiri tegak, pulau kecil itu tidak akan mudah diserahkan kepada siapa pun.
![]() |
| Hasil olahan andalan Kelompok Perempuan Pulau Pari: ikan asin (berwarna cokelat) dan tangkue atau manisan rumput laut (berwarna hijau) |
Tentang Kegiatan
Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian Faith for #SavePulauPari yang digelar GreenFaith Indonesia, Rumah Zakat, dan Ummah for Earth pada 14–15 Agustus 2025 di Pulau Pari. Selama dua hari, peserta mengunjungi wilayah terdampak, berdialog dengan warga, mendokumentasikan kondisi lapangan, serta merancang strategi kampanye.
Kegiatan ini bertujuan mengintegrasikan pendekatan spiritual lintas agama untuk mendorong kepedulian lingkungan dan memperkuat ketahanan komunitas pesisir.
Tentang GreenFaith Indonesia
GreenFaith adalah organisasi akar rumput global lintas agama yang membangun gerakan untuk keadilan iklim. Di Indonesia, GreenFaith berdiri sejak 2023 dengan fokus pada Faith for Climate Action: aksi nyata individu lintas agama menghadapi dampak perubahan iklim, pelatihan lintas iman untuk climate justice, serta perspektif spiritual dalam transisi energi.
Update kegiatan GreenFaith Indonesia dapat diikuti melalui Instagram @greenfaith.id.
Narahubung:
Farah – +62 811-2551-236
Sukowati – +62 815-1076-7004





