Jakarta, infoDKJ.com | Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar pada Sabtu (27/9) berakhir dengan kisruh. Dua kandidat, yakni Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim diri sebagai Ketua Umum terpilih. Kondisi ini memicu keprihatinan mendalam dari umat Islam Indonesia, termasuk para pengurus Eksponen Fusi 1973 yang menyerukan penyelamatan partai berlambang Kabah tersebut.
Ketua Umum Parmusi sekaligus calon Ketua Umum PPP, Prof. Husnan Bey Fananie, menegaskan bahwa jalan keluar dari kisruh ini adalah mengembalikan PPP kepada akar sejarahnya, yakni semangat fusi politik Islam tahun 1973 antara Parmusi, NU, Perti, dan Sarekat Islam (SI).
“PPP lahir dari tekad besar menyatukan kekuatan politik Islam. Jika kini terjadi kisruh, maka solusinya adalah kembali ke semangat eksponen fusi tersebut, meneguhkan persatuan, integritas, dan khittah perjuangan partai,” tegas Prof. Husnan.
Senada, Ketua Umum Perti, Anwar Sanusi, menekankan bahwa PPP bukanlah milik individu maupun segelintir elite. “PPP lahir dari fusi 1973 sebagai rumah besar umat. Semangat penyatuan itu kini harus kembali menjadi pijakan, bukan justru tercerai-berai karena ambisi pribadi atau kepentingan sesaat,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Imam Cokroaminoto, pengurus Sarekat Islam sekaligus cucu dari HOS Cokroaminoto. Ia menegaskan bahwa PPP harus kembali pada khittah perjuangan sebagai partai pemersatu umat.
Sementara itu, Irene Rusli Halil, putri dari pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), menilai Muktamar X PPP telah menzalimi para muktamirin. “Banyak yang datang dengan niat baik, tapi justru merasa terzalimi dengan proses muktamar ini,” ungkapnya.
Eksponen Fusi 1973 pun sepakat meminta Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) untuk tidak melegalkan kedua kandidat yang bertikai karena dinilai cacat hukum dan melanggar AD/ART partai.
Assoc. Prof. TB Massa Djafar, seorang cendekiawan Muslim, menambahkan bahwa konflik PPP tidak akan selesai jika partai masih terjebak pada politik transaksional, money politics, dan politik broker. “Kalau PPP ingin bangkit, maka harus kembali pada spirit fusi 1973: menguatkan representasi politik umat Islam, pelembagaan mekanisme musyawarah mufakat, serta memperkuat checks and balances internal partai,” jelasnya.
Prof. Husnan menutup pernyataannya dengan menyerukan agar momentum Muktamar X dijadikan titik balik kebangkitan PPP. “Tragedi muktamar ini telah mencoreng wajah PPP. Saya sebagai bagian dari eksponen fusi memohon maaf kepada umat Islam dan rakyat Indonesia. Kita harus menyelamatkan PPP dari praktik politik tak terpuji, menjauhi ambisi pribadi, dan kembali meneguhkan PPP sebagai rumah besar politik umat Islam,” pungkasnya.
(Adang)