Jakarta, 20 September 2025 – Di negeri yang berlandaskan Pancasila, seharusnya keadilan menjadi fondasi kokoh kehidupan berbangsa. Namun kenyataannya, hukum justru kerap diperdagangkan. Bayang-bayang hitam mafia peradilan masih menghantui ruang sidang Indonesia—bukan sekadar isu, melainkan penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi keadilan selama puluhan tahun.
Ketika Vonis Bisa Dibeli
Fenomena mafia peradilan melibatkan hakim, jaksa, panitera, hingga aparat lain yang seharusnya menjadi benteng hukum. Praktiknya gamblang: vonis diperdagangkan, eksekusi ditunda dengan “surat sakti”, atau hukuman dikorting lewat amplop tebal.
Definisi yang dulu diulas ICW dalam buku Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (2003) masih relevan hingga kini: mafia peradilan adalah jaringan busuk yang bekerja sistematis untuk memanipulasi proses hukum demi kepentingan kelompok berduit.
Data ICW menunjukkan, sejak KPK berdiri, sedikitnya 35 hakim, panitera, dan pegawai pengadilan sudah ditangkap karena korupsi. Nyatanya, yang tertangkap hanyalah pucuk kecil dari gunung es.
Kasus Grisenda: Nyawa Murah, Vonis Murahan
Tragedi tabrak lari di Perumahan Taman Grisenda, Kapuk Muara, Jakarta Utara, 9 Mei 2025, memperlihatkan wajah telanjang lemahnya penegakan hukum.
Seorang lansia berusia 82 tahun tewas setelah ditabrak mobil yang dikendarai Ivon Setia Anggara (65). Korban sempat dirawat di ICU, namun akhirnya meninggal dunia.
Namun, apa yang dilakukan jaksa? Pada sidang di PN Jakarta Utara, 18 September 2025, Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp10 juta—jauh dari ancaman maksimal 6 tahun sesuai Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ.
Alasan jaksa: usia lanjut terdakwa. Lebih ironis lagi, terdakwa tak pernah ditahan selama penyidikan.
Keluarga korban pun murka. “Jahat banget… Apakah hukum di negara ini sudah tidak ada keadilan?” ujar Linda, anak korban, dengan tangis di persidangan. Mereka curiga ada “tangan tak kasat mata” yang meringankan tuntutan, mengingat terdakwa tinggal di kompleks elit.
Mereka kini berencana melayangkan surat protes langsung ke Presiden Prabowo Subianto.
Pola Lama, Aktor Baru
Kasus Grisenda hanya satu mozaik dari rentetan bukti bahwa mafia peradilan tak pernah benar-benar mati.
-
Kasus Ronald Tannur (2024–2025)
Tiga hakim PN Surabaya ditangkap karena dugaan suap vonis bebas bagi Ronald Tannur. Kasus ini menyeret nama eks Hakim Agung Zarof Ricar, tersangka gratifikasi Rp1 triliun. -
Skandal Minyak Goreng (2025)
Empat hakim PN Jakarta Selatan, termasuk Ketua PN, ditangkap Kejagung. Mereka diduga menerima suap untuk membebaskan tiga raksasa CPO: Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Vonis ontslag dijatuhkan meski kerugian negara triliunan rupiah. -
Kasus Nurhadi (2017)
Mantan Sekretaris MA, Nurhadi, divonis 8 tahun penjara karena jual beli perkara. Kasus ini menyingkap bahwa mafia peradilan bukan isu baru, melainkan jaringan yang mengakar sejak lama.
Mengapa Penyakit Ini Tak Pernah Sembuh?
Budaya korupsi sistemik, lemahnya pengawasan MA, dan minimnya transparansi membuat mafia peradilan terus hidup. Setiap pergantian rezim, pola yang sama berulang: uang bicara, hukum jadi komoditas, keadilan jadi barang mewah.
ICW mencatat, vonis kasus korupsi di Indonesia rata-rata hanya 3 tahun 4 bulan—jauh dari standar efek jera.
Anggota DPR I Wayan Sudirta menyebutnya tepat: “penyakit kronis tanpa obat.”
Jalan Panjang Menuju Zero Mafia
Meski suram, bukan berarti tanpa harapan. Langkah mendesak antara lain:
- Reformasi struktural: syarat hakim diperketat, harta wajib transparan, pengawasan digital wajib dilakukan.
- Transparansi total: e-court dan publikasi putusan real-time, agar tak ada lagi “surat sakti”.
- Penegakan tegas: OTT harus menyasar semua level, dari panitera hingga hakim agung.
- Edukasi integritas: membangun budaya hukum yang bersih sejak bangku kuliah hukum.
Masyarakat pun punya peran vital: hadir di persidangan, melaporkan lewat whistleblower, hingga menekan pemerintah agar reformasi hukum bukan sekadar jargon.
Keadilan, Milik Siapa?
Selama mafia peradilan masih bercokol, rakyat kecil akan terus jadi korban, sementara yang berduit membeli kebebasan. Pertanyaan fundamental pun muncul: di negeri yang katanya berdiri di atas Pancasila, apakah keadilan masih milik semua orang—atau hanya segelintir yang mampu membelinya?
Sumber: Pijar Jakarta Info/Asep Walam
Editor: Dani
