Jakarta, infoDKJ.com | Sabtu, 20 September 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata, “Kebenaran itu bagaikan cermin utuh yang jatuh ke bumi lalu pecah. Setiap orang mengambil satu pecahan dan mengira bahwa yang dipegangnya adalah keseluruhan kebenaran.”
Uraian ini mengingatkan kita bahwa kebenaran sejati hanyalah milik Allah, Al-Haqq. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu...”
(QS. Al-Kahfi: 29)
Manusia dengan keterbatasan akalnya hanya mampu melihat sebagian kecil dari kebenaran tersebut. Karena itulah lahir beragam pandangan, keyakinan, dan tafsir yang berbeda.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahaya kesombongan, termasuk merasa diri paling benar. Padahal ilmu manusia hanyalah setitik dibandingkan dengan samudera ilmu Allah.
Dalam menyikapi perbedaan, Islam mengajarkan untuk saling menghormati dan melengkapi. Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa...”
(QS. Al-Maidah: 2)
Perbedaan seharusnya menjadi jalan menuju kebijaksanaan, bukan sumber pertikaian. Dengan rendah hati, kita belajar bahwa potongan cermin yang kita miliki hanyalah sebagian cahaya dari kebenaran Allah.


