Jakarta, infoDKJ.com | Rabu, 10 September 2025
Tanggal 10 September 1912 mungkin terlihat seperti catatan kecil di pinggir sejarah. Namun, di bawah langit Hindia Belanda yang kelabu, hari itu menandai lahirnya Sarekat Islam (SI) sebagai badan hukum resmi, bertransformasi dari Sarekat Dagang Islam yang tumbuh dari keringat para pedagang batik di Solo. Demikian tertulis dalam Sejarah Pemikiran Indonesia karya Taufik Abdullah (1987).
Dalam film Guru Bangsa (2015), HOS Tjokroaminoto digambarkan sebagai sosok dengan visi setajam pedang. Ia menyusun anggaran dasar baru, mengubah SI dari sekadar kelompok ekonomi menjadi panggung perjuangan nasional yang inklusif.
Rumah kosnya di Gang Peneleh, Surabaya, menjadi rahim bagi ide-ide yang kelak mengguncang Indonesia. Di sana, pemuda-pemuda seperti Soekarno, Musso, dan Kartosuwiryo belajar, berdebat, dan bermimpi.
Soekarno muda, yang tinggal di rumah Tjokro sekitar 1916–1921, sering berlatih orasi di depan cermin, meniru gaya gurunya. Kadang ia terlalu berlebihan hingga membuat teman-temannya terbahak, sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Dalam buku yang sama, Soekarno bercerita tentang sebuah pasar malam. Bersama Hermen Kartowisastro dan Suarli, ia memenangkan seekor kuda tua dalam lomba panah. Bangga dengan “trofi” itu, ia ditegur Tjokro: “Fokus pada perjuangan, bukan kuda tua!”
Di rumah itu pula, Tjokro mengajarkan cara menyatukan Islam, nasionalisme, dan sosialisme—benih Marhaenisme yang mekar saat proklamasi 1945. Hubungan mereka begitu dekat hingga Tjokro menikahkan putrinya, Siti Oetari, dengan Soekarno pada 1921, meski rumah tangga itu berakhir dua tahun kemudian.
Musso, calon tokoh komunis besar, juga sempat menjadi anak kos Tjokro pada akhir 1910-an. Ia kerap berdebat sengit dengan Tjokro soal ideologi. Tjokro mempertahankan identitas Islam SI, sementara Musso terpesona dengan sosialisme sekuler ala Henk Sneevliet. Konon, perdebatan mereka sering berlangsung hingga pagi, sampai Tjokro menutup diskusi agar rumah tidak berubah menjadi arena debat. Pada 1921, Musso keluar dari SI, lalu bersama Semaun mendirikan PKI—jalan yang akhirnya membawanya pada tragedi Madiun 1948.
Berbeda dengan Musso, Kartosuwiryo dikenal pendiam. Ia lebih banyak menyerap daripada berbicara, sebagaimana ditulis C. van Dijk dalam Kartosoewirjo dan Negara Islam Indonesia (1981). Tjokro bahkan menyebutnya sebagai “penjaga ketenangan” di tengah hiruk-pikuk Soekarno dan Musso. Namun, Kartosuwiryo justru menempuh jalan lain: dari murid setia SI menjadi pendiri Negara Islam Indonesia pada 1949, hingga ditangkap pada 1962.
Maka, pada 10 September 1912 ketika SI resmi berbadan hukum (Sejarah Sarekat Islam, Arsip Nasional, 1912), Tjokro sejatinya sedang membuka ruang bagi kontradiksi: persatuan dan perpecahan, nasionalisme dan sektarianisme. Rumah kosnya di Gang Peneleh menjadi miniatur Indonesia—Soekarno menyatukan, Musso merevolusi, Kartosuwiryo memisahkan.
Hari ini, di ulang tahun ke-113 Sarekat Islam (10 September 2025), Gang Peneleh mengingatkan kita bahwa sejarah bukan garis lurus. Ia bercabang di gang sempit, di rumah kos sederhana, di suara anak muda yang masih kaku meniru orasi.
Kadang yang kita kenang bukanlah keputusan besar, melainkan kelakar kecil: seekor kuda tua dari pasar malam, secangkir kopi panas, atau pintu kamar yang ditutup Kartosuwiryo sebelum tidur. Dari hal-hal kecil itulah bangsa ini belajar bercakap, berdebat, dan berjuang.
Mungkin, di era media sosial kini, kita juga memiliki “rumah kos” virtual—tempat ide-ide bertemu, bercampur, beradu, tanpa takut berbeda. Pertanyaannya: apakah kita masih berani merawat ruang seperti Peneleh?
Editor: Adang