Bekasi, infoDKJ.com | Minggu, 28 September 2025
Oleh: Dr. Abu Fatihunnur
Muktamar ke-X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang digelar di Ancol, Jakarta, pada 27–28 September 2025 menyisakan kisah kelam. Forum yang semestinya menjadi momentum konsolidasi justru diwarnai kericuhan dan saling klaim kemenangan.
Di tengah pusaran konflik antara kubu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Muhamad Mardiono dan mantan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, hadir sosok yang memilih jalan berbeda: Prof. Dr. KH. Husnan Bey Fananie, M.A.—seorang ulama intelektual yang membawa ketenangan di tengah badai.
Dari tiga kandidat calon ketua umum, hanya Kyai Husnan dan para pendukungnya yang tidak terlibat dalam perseteruan fisik yang bahkan sempat diwarnai aksi lempar kursi. Beliau secara tegas mencegah para pendukungnya untuk ikut mengklaim kemenangan aklamasi di tengah suasana yang memanas. Kehadiran beliau justru membawa keteduhan, disambut hangat oleh pimpinan DPW dan DPC PPP sejak dari jalan utama, area parkir Hotel Mercure Ancol, hingga lokasi Muktamar.
Kedatangan Kyai Husnan pada pukul 19.30 WIB diiringi takbir dan shalawat saat memasuki lobi hotel menjadi titik balik yang menyejukkan suasana. Sikap tenang, santun, dan penuh wibawa menjadikan beliau layak disebut sebagai Sosok Guru & Pemenang Sejati.
Konflik dan Klaim Kemenangan
Alih-alih menjadi ruang musyawarah, Muktamar X PPP justru berujung pada perpecahan. Dua kubu saling mengklaim kemenangan aklamasi dan membubarkan muktamar secara sepihak, menyisakan tanda tanya besar terkait legitimasi kepemimpinan.
Kubu Mardiono mengklaim dukungan mayoritas DPW, sementara kubu Agus Suparmanto menyatakan mendapat aklamasi dari peserta yang hadir. Kericuhan fisik yang terjadi semakin memperburuk citra PPP di mata publik. Para pengamat politik menilai konflik ini berpotensi memperdalam keterpurukan PPP menjelang Pemilu 2029 serta membuka kemungkinan munculnya persoalan hukum baru bagi partai berlambang Ka'bah tersebut.
Sikap Kyai Husnan yang Menenangkan
Di tengah hiruk-pikuk konflik, Kyai Husnan memilih sikap menyejukkan. Bersama para pendukungnya, beliau lebih banyak diam dan berdoa demi tercapainya tujuan hakiki muktamar. Dalam pernyataannya, beliau menegaskan bahwa muktamar bukanlah ajang perebutan kekuasaan, melainkan ruang silaturahmi untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, insaniyah, dan wathaniyah demi PPP dan Indonesia yang lebih baik.
Alih-alih larut dalam intrik, Kyai Husnan menjaga wibawa dan integritasnya sebagai seorang ulama. Slogannya yang penuh makna—
Hidup mulia atau mati syahid. Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja
—menjadi refleksi keberanian moral yang langka dalam politik modern.
Sikap beliau yang tidak berambisi kekuasaan dan tidak pernah mengklaim kemenangan adalah pesan kuat bagi seluruh kader PPP. Bahwa kemenangan sejati bukanlah soal jabatan, melainkan tentang menjaga etika, persatuan, dan marwah partai sebagai rumah besar umat Islam.
Menuju Kemenangan Sejati
Walaupun secara prosedural tidak terpilih sebagai ketua umum akibat muktamar yang ricuh, sikap Kyai Husnan mencerminkan kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, dan penghormatan terhadap kebebasan berpendapat.
Beliau tidak pernah memaksakan dukungan dari DPW maupun DPC, melainkan mengajak dengan keteladanan. Dalam situasi penuh tekanan, beliau mampu membedakan antara perebutan kekuasaan yang sesaat dan perjuangan jangka panjang untuk kemaslahatan partai serta umat Islam Indonesia.
Di tengah badai Muktamar X PPP, Kyai Husnan Bey Fananie tampil sebagai sosok guru dan pemenang sejati. Kemenangannya bukanlah aklamasi di atas panggung, melainkan kemenangan moral yang menginspirasi para kader untuk kembali ke jalan persatuan.
Kemenangan ini jauh lebih berharga daripada jabatan atau materi, karena beliau telah memenangkan hati para kader yang mendambakan kedamaian dan keutuhan partai berlambang Ka’bah.