Jakarta, infoDKJ.com | Jum'at, 31 Oktober 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam kehidupan ini, tidak ada manusia yang mampu hidup tanpa bantuan dan kebaikan orang lain. Sejak kita lahir, tangan-tangan kasih telah menolong, membimbing, dan mendidik kita. Namun sering kali manusia lupa pada kebaikan tersebut — lebih mudah mengingat satu kesalahan daripada menghargai seratus kebaikan. Padahal, mengingkari kebaikan orang lain termasuk bagian dari dosa besar yang dapat menghapus nilai syukur kepada Allah.
1. Bersyukur kepada Allah Dimulai dari Tahu Berterima Kasih kepada Manusia
Rasulullah ï·º bersabda:
“Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih kepada manusia.”
(HR. Abu Dawud no. 4811 dan Tirmidzi no. 1954 — shahih menurut Al-Albani)
Hadis ini menunjukkan eratnya hubungan antara rasa terima kasih kepada manusia dan rasa syukur kepada Allah. Orang yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama, pada hakikatnya tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah. Sebab, ia tidak menyadari bahwa kebaikan orang lain adalah bagian dari karunia dan takdir Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)
Syukur bukan sekadar ucapan alhamdulillah, tetapi pengakuan tulus terhadap segala bentuk kebaikan yang Allah hadirkan — baik langsung dari-Nya maupun melalui perantara manusia. Maka ketika seseorang menolak atau menyepelekan kebaikan orang lain, sejatinya ia telah menolak salah satu jalan yang Allah gunakan untuk memberinya nikmat.
2. Tabiat Manusia: Mudah Mengingat Salah, Sulit Menghargai Benar
Asy-Sya’bi rahimahullah berkata:
“Seandainya aku melakukan kebenaran sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali, sungguh manusia akan menghitung-hitung satu kesalahan tersebut.”
(Tahdzib Siyar A‘lam An-Nubala’, 1/392)
Ungkapan ini menggambarkan tabiat manusia yang lebih mudah menghitung kekurangan daripada mensyukuri kebaikan. Sifat seperti ini bisa menimbulkan penyakit hati — seperti sombong, dengki, dan tidak puas — yang akhirnya menghalangi datangnya rahmat Allah.
Allah berfirman:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
(QS. Saba’: 13)
Ayat ini mengingatkan bahwa syukur sejati adalah sifat yang langka. Ia tidak hanya tampak dalam ibadah, tetapi juga dalam cara seseorang menghargai sesamanya. Bersyukur kepada manusia bukan berarti memuja, melainkan mengakui jasa mereka sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
3. Buah dari Rasa Terima Kasih
Rasulullah ï·º juga bersabda:
“Barangsiapa tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Rasa syukur kepada manusia akan melahirkan hubungan sosial yang harmonis, menumbuhkan kasih sayang, dan menekan ego diri. Sebaliknya, mengingkari kebaikan justru menumbuhkan kesombongan dan menjauhkan hati dari rahmat Allah.
Seorang mukmin sejati adalah ia yang mudah mengucapkan terima kasih, memaafkan kesalahan orang lain, dan lebih suka mengingat kebaikan dibanding keburukan.
Kesimpulan
Bersyukur kepada manusia adalah bagian dari ibadah kepada Allah. Menghargai kebaikan orang lain menumbuhkan kesadaran bahwa segala kebaikan yang datang dalam hidup kita hanyalah perantara kasih sayang Allah. Siapa yang mampu berterima kasih kepada sesama, maka ia telah membuka jalan menuju syukur yang hakiki kepada Penciptanya.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebut (dan mensyukurinya).”
(QS. Adh-Dhuha: 11)


