Jakarta, infoDKJ.com | Penembakan terhadap pengacara berinisial WA di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menjadi alarm keras bahwa premanisme di ibu kota belum mati — justru makin brutal. Aksi koboi yang dilakukan oleh HD, penjaga lahan sengketa, menegaskan bahwa di balik gedung-gedung megah Jakarta, masih berdenyut budaya kekerasan yang menyingkirkan hukum.
Peristiwa itu terjadi pada Selasa (28/10), saat WA bersama timnya hendak memasang plang kepemilikan di lahan kosong Jalan Fachrudin. Tanpa ampun, sekelompok orang menghadang dan menyerang. WA berusaha melarikan diri, namun peluru panas menembus punggungnya. Ia kini selamat, tetapi luka itu lebih dari sekadar fisik — itu simbol betapa rapuhnya rasa aman di Jakarta.
HD ditangkap cepat — kurang dari 24 jam setelah kejadian — di Bekasi oleh tim Polda Metro Jaya. Namun penangkapan itu hanya menyingkap permukaan gunung es. Di balik kasus ini, ada jaringan kekerasan sistematis yang melibatkan preman, pemilik modal, dan bahkan oknum yang memelihara ketakutan sebagai alat kontrol.
Preman bukan sekadar pelaku lapangan. Mereka adalah “penguasa bayangan” yang tumbuh subur di ruang kosong hukum — di lahan sengketa, pasar, hingga kawasan hiburan malam. Mereka menjaga kepentingan tertentu, mengatur parkir, mengintimidasi warga, bahkan memiliki akses ke senjata api ilegal.
Padahal, Jakarta adalah etalase bangsa. Kota yang ingin disebut “Global City” tak bisa terus menoleransi kekerasan ala jalanan. Jika pengacara saja bisa ditembak di siang bolong, apa kabar nasib rakyat biasa?
Kini saatnya Polda Metro Jaya dan Pemprov DKI tidak sekadar reaktif, tapi melancarkan perang total terhadap premanisme. Razia harus dilakukan secara berkelanjutan, bukan hanya saat kamera wartawan menyorot.
Langkah konkret harus mencakup:
- Pemetaan wilayah rawan premanisme — dari lahan sengketa hingga kawasan perdagangan.
- Pembongkaran jaringan senjata gelap, tempat senjata rakitan dan organik berpindah tangan.
- Penyergapan para aktor intelektual, bukan hanya tukang pukul di lapangan.
- Kolaborasi lintas lembaga dengan ATR/BPN, Pemprov DKI, dan kejaksaan untuk menutup celah hukum.
Gubernur DKI Pramono Anung juga tidak boleh tinggal diam. Ia harus menegaskan Jakarta sebagai kota yang tidak memberi ruang bagi kekerasan dan ketakutan. Setiap lahan sengketa harus terdata dan diamankan agar tak menjadi arena duel berdarah antar kepentingan.
Kejadian di Tanah Abang bukan sekadar kriminalitas — ini cermin kegagalan sistem keamanan perkotaan. Jika negara tidak hadir dengan tegas, maka Jakarta akan terus menjadi hutan beton tempat hukum kalah oleh peluru, dan keadilan terkubur di bawah kaki preman.
Jakarta tidak boleh lagi tunduk pada kekerasan. Razia preman harus digencarkan, aparat harus tegas, dan negara harus kembali berdaulat di jalanan. Sebab bila hukum terus tak berdaya, maka bukan hanya WA yang tertembak — tapi juga kepercayaan publik terhadap keadilan.
Jakarta harus bersih dari premanisme — atau kita semua akan hidup dalam ketakutan yang dianggap biasa. (Red)
