Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 23 Oktober 2025
Penulis: Ahmad Hariyansyah (Yansen)
Di tengah derasnya arus zaman, masyarakat kita kerap terhanyut dalam hiruk-pikuk kehidupan: konten viral yang silih berganti, politik yang gaduh, serta budaya ikut-ikutan yang membuat banyak orang takut berbeda. Nilai hidup pun sering diukur dari popularitas, jabatan, atau banyaknya pengikut. Padahal, hakikat kebijaksanaan justru terletak pada pilihan hidup yang jernih, tenang, dan bermakna.
Fenomena viral sering kali menampakkan paradoks: hiburan berubah menjadi perundungan, opini instan mengalahkan kebenaran. Budaya kerumunan membuat kita menilai sesuatu dari seberapa ramai dibicarakan, bukan dari sejauh mana kebenarannya. Padahal Allah telah memperingatkan:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka.”
(QS. Al-An‘am [6]:116)
Dalam dunia politik, gejalanya pun serupa. Kebisingan opini sering kali lebih dipercaya daripada suara kebenaran. Rasulullah ï·º bersabda:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Orang yang berdusta dibenarkan, orang yang jujur didustakan, orang yang khianat dipercaya, dan orang yang amanah dikhianati.”
(HR. Ahmad)
Di tengah kondisi seperti ini, jalan kebijaksanaan menjadi jalan sunyi — tidak populer, bahkan kerap dianggap asing. Namun justru di jalan inilah tersimpan makna sejati kehidupan. Allah menegaskan pentingnya keseimbangan dan kematangan spiritual:
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath (pertengahan), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.”
(QS. Al-Baqarah [2]:143)
Kebijaksanaan bukanlah menolak kemajuan teknologi atau budaya populer, melainkan menghadapinya dengan kejernihan hati dan akal. Ia menuntut keberanian untuk berkata tidak: tidak pada hoaks, tidak pada politik yang sarat syahwat kuasa, dan tidak pada budaya latah yang menyesatkan. Rasulullah ï·º mengingatkan:
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam perkelahian, melainkan orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari-Muslim)
Indonesia yang besar dan majemuk ini membutuhkan warganya yang berani melangkah di jalan sunyi kebijaksanaan. Sebab, tidak semua yang viral adalah kebenaran, tidak semua yang populer adalah kebaikan, dan tidak semua yang mayoritas adalah keadilan.
Biarlah dunia ramai oleh sensasi, tugas kita adalah menapaki jalan yang jernih dan tenang — jalan yang menumbuhkan kejernihan hati, kejujuran, dan kasih sayang. Seperti doa para arifin:
“Ya Allah, tunjukilah kami kebenaran sebagai kebenaran, lalu anugerahkanlah kami kemampuan untuk mengikutinya; dan tunjukilah kami kebatilan sebagai kebatilan, lalu anugerahkanlah kami kemampuan untuk menjauhinya.”
Jalan sunyi inilah yang akan melahirkan manusia bijak — sederhana namun bermakna, jujur dalam menjaga peradaban, dan penuh cinta dalam menebar kedamaian.
