Jakarta, infoDKJ.com | Jum'at, 17 Oktober 2025
PARADOKS KEMAKMURAN: SERAKAHNOMIC DAN ILUSI KEADILAN EKONOMI
Refleksi Dr. Bagza Pratama, S.Sos., M.Sos pada Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan
Di tengah peringatan Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan, Dr. Bagza Pratama, S.Sos., M.Sos, pengamat politik global dan hubungan internasional, menyuarakan kritik tajam terhadap wajah ekonomi nasional yang disebutnya tengah dikuasai oleh rezim Serakahnomic.
Menurutnya, satu dekade terakhir menandai fase di mana keserakahan dilembagakan menjadi kebijakan, dan ketimpangan disamarkan dengan retorika pertumbuhan ekonomi.
“Indonesia selama sepuluh tahun terakhir hidup dalam hegemoni Serakahnomic, di mana elite politik dan ekonomi bersinergi dalam simbiosis keserakahan. Struktur ekonomi diciptakan untuk mengalirkan modal ke puncak kekuasaan, sementara rakyat hanya disuguhi retorika empati,” ungkapnya.
Dr. Bagza menilai, krisis kemiskinan di Indonesia bukan akibat kurangnya sumber daya, melainkan hasil rekayasa struktural yang menempatkan rakyat dalam posisi subordinat. Ia mengutip pemikiran Thomas Piketty dan Karl Marx bahwa ketika distribusi kekayaan ditentukan oleh akumulasi modal, bukan nilai kerja manusia, maka ekonomi telah kehilangan moralnya.
“Statistik ekonomi yang sering dijadikan bahan kebanggaan hanyalah cermin buram — ia memantulkan angka, bukan penderitaan,” tambahnya.
Bagza menyebut kondisi ini sebagai paradoks kemakmuran: ketika ekonomi tumbuh, tetapi kemanusiaan menyusut. Pembangunan fisik dan klaim kemajuan justru menutupi jurang sosial yang semakin dalam.
“Kita menyembah angka, tetapi melupakan manusia. Kita membangun gedung, tetapi meruntuhkan martabat,” ujarnya reflektif.
Dalam perspektif filsafat eksistensial, keserakahan yang dilembagakan adalah bentuk alienasi tertinggi — manusia kehilangan makna karena diukur bukan dari moral dan kontribusi sosial, melainkan daya beli dan konsumsi. Itulah bentuk dehumanisasi ekonomi, di mana rakyat kecil hanya menjadi angka statistik, dan keadilan berubah menjadi retorika administratif.
Dr. Bagza menegaskan, Hari Internasional untuk Pemberantasan Kemiskinan seharusnya bukan seremoni, melainkan momentum introspeksi moral bangsa.
“Kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan luka moral. Setiap kebijakan yang membiarkan rakyat hidup dalam kekurangan adalah pengkhianatan terhadap Pancasila dan nurani kemanusiaan,” tegasnya.
Ia menutup refleksinya dengan ajakan moral:
“Reformasi ekonomi sejati bukan soal menambah angka pertumbuhan, tetapi tentang menumbuhkan manusia. Bangsa besar bukanlah yang kaya sumber daya, melainkan yang adil dalam membaginya.”
UCAPAN MILAD PRESIDEN: TANTANGAN UNTUK DEKONSTRUKSI EKONOMI
Dr. Bagza Pratama juga memaknai tanggal 17 Oktober, yang bertepatan dengan Hari Lahir Presiden Republik Indonesia, H. Prabowo Subianto, sebagai momen reflektif bagi bangsa.
“Selamat Milad kepada Bapak Presiden H. Prabowo Subianto. Semoga Bapak senantiasa diberkahi kesehatan, kejernihan visi, dan keteguhan moral dalam memimpin bangsa. Semoga hari lahir ini menjadi momen dialektis bagi bangsa untuk menyalakan api perlawanan sejati terhadap rezim ekonomi keserakahan,” ucapnya.
Dr. Bagza berharap di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, lahir reformasi ekonomi yang berakar pada keadilan substantif — keadilan yang menyentuh inti eksistensi rakyat sebagai subjek kemajuan.
“Perjuangan melawan kemiskinan struktural harus menjadi persembahan terbaik di usia Bapak Presiden — bukan hanya simbolik, tetapi historis bagi rakyat yang menanti transformasi sosial-ekonomi yang berkeadilan,” tutupnya.
ANATOMI KESERAKAHAN: SEDEKAD REZIM SERAKAHNOMIC
Dalam refleksi kritisnya, Dr. Bagza menyebut satu dekade terakhir sebagai masa dominasi Serakahnomic — sistem ekonomi yang digerakkan oleh keserakahan elite.
Menurutnya, struktur ekonomi negara telah direkayasa menjadi saluran pengaliran modal dan kekuasaan menuju puncak piramida oligarki.
“Ini bukan lagi sekadar ketimpangan ekonomi; ini adalah kemiskinan struktural yang disponsori dan disubsidi oleh kebijakan negara,” tegasnya.
Dalam kerangka filsafat ekonomi, Serakahnomic mencerminkan krisis moral kapitalisme — kehilangan ruh etik dan meniadakan keseimbangan sosial.
Ia menilai, dampaknya menjelma dalam tiga wajah kemiskinan multidimensi:
- Pengebirian Akses Dasar – Hak atas pendidikan, kesehatan, dan sanitasi direduksi menjadi komoditas pasar.
- Destruksi Sosial – Ketimpangan melebar, solidaritas hancur, masyarakat kehilangan arah moral (anomie).
- Politik Karitatif – Bantuan sosial dijadikan alat penjinakan politik; rakyat diposisikan sebagai objek belas kasihan, bukan subjek pembebasan.
“Kemiskinan diubah menjadi komoditas politik. Ini pengkhianatan terhadap kesadaran rakyat,” ujarnya.
RESOLUSI ETIS: MENGGULINGKAN HEGEMONI SERAKAHNOMIC
Sebagai penutup refleksi, Dr. Bagza menyerukan resolusi moral dan politik nasional:
menggulingkan hegemoni Serakahnomic dan membangun ekonomi yang berlandaskan nilai kemanusiaan dan keadilan substantif.
1. Hentikan Rezim Serakahnomic Sekarang
Negara harus menghentikan kebijakan yang menopang praktik monopoli, kartel, dan penghisapan ekonomi rakyat kecil.
“Pasar tanpa etika akan menghancurkan tatanan masyarakat,” tegasnya mengutip Karl Polanyi.
2. Jaminan Sosial Berbasis Hak, Bukan Belas Kasihan
Perlindungan sosial sejati harus berbasis hak kodrati warga negara, bukan kemurahan tangan kekuasaan.
“Keadilan sosial sejati lahir ketika kebijakan publik mengoreksi ketimpangan, bukan mempertahankannya,” ujarnya, merujuk pada John Rawls.
3. Pemberdayaan Ekonomi Akar Rumput
Paradigma pembangunan harus bergeser ke arah pemberdayaan koperasi, UMKM, dan infrastruktur rakyat.
“Ekonomi sejati tumbuh ketika rakyat menjadi subjek produksi, bukan sekadar objek statistik,” tegasnya.
“Kemiskinan adalah bentuk penolakan terhadap martabat manusia. Kita harus mendeklarasikan perang total terhadap Serakahnomic dan menegakkan ekonomi sebagai ruang pembebasan manusia,” tutup Dr. Bagza Pratama.
Ia mengakhiri refleksi dengan kutipan Mahatma Gandhi:
“Bumi memiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan satu orang.”