Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 18 November 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Pendahuluan
Allah ï·» menganugerahkan kepada manusia dua keistimewaan besar: akal dan hati. Dengan akal, manusia mampu berpikir, menimbang, dan mengelola ilmu. Dengan hati, manusia dapat merasakan, menilai, serta membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Namun ketika akal berjalan tanpa hati, muncullah kelicikan. Ketika ilmu berkembang tanpa nurani, lahirlah ketamakan dan kerusakan. Sejarah membuktikan, banyak orang berilmu tinggi dan berkuasa besar justru menjadi sumber bencana karena mereka mematikan mata hati. Sebaliknya, orang yang hatinya jernih—meski tidak penuh gelar—dapat menghadirkan rahmat, keteduhan, dan kebaikan bagi sesama.
Akal Tanpa Hati: Api yang Membakar
Allah ï·» memperingatkan manusia agar tidak menjadikan akal semata sebagai kompas hidup tanpa melibatkan hati yang bersih. Sebagaimana firman-Nya:
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami; mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat; mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
(QS. Al-A’raf: 179)
Ayat ini menegaskan bahwa hati yang mati menutup fungsi akal dari cahaya kebenaran. Akal hanya menjadi alat membenarkan hawa nafsu, bukan perantara menuju hidayah. Dari sinilah lahir penguasa yang licik, orang pintar yang serakah, dan para cendekia yang menutup mata terhadap kebenaran.
Ilmu yang Disertai Nurani: Rahmat bagi Manusia
Rasulullah ï·º menegaskan pentingnya hati sebagai pusat kendali seluruh perilaku manusia:
“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itulah hati.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengajarkan bahwa kecerdasan, ilmu, bahkan ibadah sekalipun tidak akan bermakna bila hati tidak hidup. Ilmu yang dibimbing nurani akan melahirkan kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang. Sebaliknya, ilmu tanpa nurani melahirkan kesombongan dan kehancuran.
Sinergi Akal dan Hati: Cahaya Kehidupan
Allah ï·» menciptakan akal dan hati sebagai pasangan yang saling melengkapi. Akal memberi kekuatan berpikir, sedangkan hati memberi cahaya petunjuk. Bila keduanya berjalan seiring, lahirlah manusia yang bukan hanya cerdas, tetapi juga hikmah—bukan hanya tahu, tetapi juga memahami dengan benar.
Allah ï·» berfirman:
“Bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
(QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini mengingatkan bahwa kebutaan sejati bukanlah kebutaan pandangan, tetapi kebutaan hati yang kehilangan cahaya kebenaran.
Penutup
Manusia cerdas tanpa hati adalah bencana bagi dirinya dan lingkungannya. Tetapi manusia yang memiliki akal sehat disertai hati yang jernih adalah sumber rahmat bagi sekitar. Maka tugas kita adalah menghidupkan akal dengan ilmu dan menerangi hati dengan iman.
Hidupkan akal, terangi hati.
Agar hidup tidak hanya sekadar pintar, tetapi juga benar.
