Jakarta, infoDKJ.com | Jumat, 21 November 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Pendahuluan
Bencana alam sering kali dianggap sebagai musibah besar yang menakutkan dan merugikan manusia. Padahal, dalam pandangan Islam, tidak ada satu pun peristiwa di alam semesta ini yang terjadi tanpa izin dan hikmah dari Allah. Semua yang tampak sebagai “kehancuran” pada hakikatnya bisa jadi adalah proses “perbaikan” yang sedang dilakukan oleh alam atas izin Allah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menegaskan bahwa ada dua sumber kerusakan di muka bumi:
- Kerusakan yang disebabkan oleh alam dengan izin Allah – sebagai bentuk rekonstruksi dan penyeimbangan ekosistem.
- Kerusakan yang disebabkan oleh manusia – akibat keserakahan, eksploitasi, dan ketidakpedulian terhadap keseimbangan ciptaan Allah.
1. Bencana Alam sebagai Perbaikan Ilahi
Ketika gunung meletus, banjir melanda, atau gempa bumi mengguncang, tidak serta-merta itu berarti kemurkaan Allah. Bisa jadi, itu adalah proses penyucian dan regenerasi bumi agar tetap seimbang. Tanah yang tertimbun abu vulkanik dari letusan gunung, misalnya, setelah beberapa waktu justru menjadi sangat subur. Di situlah tampak kebijaksanaan Ilahi — bahwa setiap kehancuran yang diizinkan Allah pasti mengandung hikmah perbaikan.
Allah berfirman:
"Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar."
(QS. Al-Hijr: 85)
Artinya, setiap peristiwa di alam semesta ini — termasuk yang tampak sebagai bencana — mengandung kebenaran dan tujuan yang bijaksana, bukan sekadar kebetulan atau tanpa makna.
2. Kerusakan Akibat Keserakahan Manusia
Berbeda dengan bencana yang terjadi secara alami, kerusakan akibat ulah manusia sering kali membawa dampak yang jauh lebih buruk dan permanen. Penebangan hutan tanpa kendali, pencemaran sungai dan laut, hingga pembakaran lahan demi keuntungan pribadi adalah bentuk nyata dari keserakahan yang melampaui batas.
Allah mengingatkan:
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
(QS. Al-A‘raf: 56)
Rasulullah ï·º juga menegaskan pentingnya menjaga kelestarian alam:
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu sebagian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam menanamkan tanggung jawab ekologis kepada umatnya. Merusak alam sama halnya dengan menentang amanah Allah, sementara menjaga dan memeliharanya adalah bagian dari ibadah.
3. Allah Tidak Pernah Zalim
Bencana alam tidak boleh dilihat sebagai bentuk kezaliman dari Allah. Sebab, Allah Mahasuci dari sifat zalim. Bahkan ketika musibah datang, itu adalah bagian dari ujian dan kasih sayang-Nya untuk mengingatkan manusia agar kembali kepada jalan yang benar.
Allah berfirman:
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)."
(QS. Asy-Syura: 30)
Setiap peristiwa memiliki makna spiritual: menguji kesabaran, menumbuhkan empati, memperkuat iman, dan menyadarkan manusia bahwa tidak ada kekuatan yang lebih besar dari kekuasaan Allah.
Kesimpulan
Bencana alam bukanlah bentuk murka tanpa makna, melainkan mekanisme perbaikan Ilahi terhadap sistem alam yang sudah rusak. Namun, kerusakan yang diakibatkan oleh tangan manusia serakah adalah bentuk pelanggaran terhadap sunnatullah — hukum keseimbangan yang telah Allah tetapkan.


