Kisah ini dipersembahkan untuk seluruh anak yang ada di dunia ini
Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, hiduplah seorang ibu bernama Sulastri, seorang penjual sayur keliling yang setiap hari bangun sebelum fajar menyingsing. Dengan keranjang besar di pundaknya, ia menempuh perjalanan hampir lima kilometer untuk menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah.
Bagi Sulastri, bukan keuntungan besar yang ia kejar, melainkan masa depan anak-anaknya. Suaminya telah lama sakit dan tak mampu bekerja, sehingga seluruh tanggung jawab keluarga berada di pundaknya. Dalam diam, ia sering menahan lapar agar anak-anaknya bisa makan cukup. Saat hujan deras mengguyur, ia tetap melangkah, berbalut jas hujan lusuh sambil menggenggam erat uang hasil jualannya.
Satu per satu cobaan datang. Pernah dagangannya tak laku, bahkan pernah jatuh sakit karena kelelahan. Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia selalu berkata kepada anak-anaknya,
“Ibu tidak ingin kalian hidup susah seperti ibu. Belajarlah sungguh-sungguh, karena pendidikan itu cahaya.”
Doa dan kerja kerasnya akhirnya membuahkan hasil. Putra sulungnya, Rudi, berhasil lulus kuliah dan kini bekerja sebagai guru di kota. Ia sering berkata bahwa setiap langkah suksesnya adalah jejak kaki ibunya di jalan yang penuh perjuangan.
Kini, meski tubuhnya mulai renta, Ibu Sulastri tetap tersenyum setiap kali melihat anak-anaknya pulang membawa kebanggaan. Ia sadar, pengorbanannya bukan sia-sia. Dari tangan yang kasar karena kerja keras, lahir generasi yang lembut hatinya, kuat tekadnya, dan tinggi ilmunya.
Kisah Ibu Sulastri mengajarkan kita satu hal sederhana:
Kasih seorang ibu adalah kekuatan paling murni di dunia — diam, tapi menggerakkan segalanya.
Apakah kamu ingin saya ubah kisah ini menjadi versi yang lebih menyentuh, misalnya untuk konten motivasi media sosial (narasi pendek bergaya storytelling)?
