Oleh: Shamsi Ali Al-Nuyorki
Tulisan ini sekadar menjadi respon singkat terhadap berbagai kicauan dan pertanyaan sebagian teman-teman di Indonesia tentang agama dan keyakinan Zohran Mamdani.
Salah satu yang paling sering muncul adalah pertanyaan: “Apakah benar Zohran itu seorang penganut Syiah?” — bahkan sebagian sudah sampai pada kesimpulan dan penghakiman tanpa klarifikasi yang jelas.
Sebagian mengambil kesimpulan hanya berdasarkan “qiila wa qaala” (katanya) atau gosip yang sedang viral. Ada juga yang merujuk pada tulisan di media daring, termasuk Wikipedia. Padahal, jangankan Zohran, saya sendiri pun banyak ditulis profilnya di dunia maya tanpa pernah dikonfirmasi kebenarannya, termasuk di Wikipedia.
Oleh karena itu, saya ingin menegaskan beberapa hal berikut:
Pertama, Zohran Mamdani adalah seorang Muslim, mengikuti agama dan keyakinan ayahnya, Mahmoud Mamdani, seorang profesor ilmu politik dan hubungan internasional di Columbia University. Dari pihak ayahnya, Zohran tumbuh sebagai seorang Muslim dan banyak belajar Islam, khususnya dari kakek dan neneknya.
Kedua, sebagaimana umumnya masyarakat Muslim di Amerika, mereka tidak lagi terjebak pada label sempit dalam berislam seperti Sunni–Syiah atau Salafi–Sufi. Selama seseorang meyakini “Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah”, maka selebihnya menjadi tanggung jawab pribadi di hadapan Tuhannya.
Ketiga, generasi muda Muslim di Amerika—khususnya generasi kedua dan ketiga—tidak lagi terkooptasi oleh dikotomi pemahaman dan penafsiran Islam. Mereka lebih menekankan kesatuan dalam iman (innamal mu’minuuna ikhwaah). Justru mereka terganggu dengan kecenderungan sektarian di kalangan umat Islam. Zohran adalah bagian dari generasi muda Muslim Amerika yang berpikir demikian.
Keempat, masyarakat Muslim Amerika dalam membangun relasi dan kebersamaan lebih mengedepankan nilai-nilai universal seperti perdamaian, kemanusiaan, dan keadilan untuk semua. Label Sunni atau Syiah bukan menjadi ukuran dalam membela nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika ada seorang Sunni yang abai terhadap penderitaan di Gaza, maka kebersamaan dengannya kehilangan nilai. Sebaliknya, ketika seorang Syiah berdiri membela kemanusiaan dan keadilan, maka relasi dengannya justru menjadi bernilai.
Kelima, saya menyaksikan sendiri Zohran melaksanakan shalat di masjid kami sebagaimana kami melakukannya. Jika dia seorang Syiah, tentu cara shalatnya akan berbeda sesuai mazhabnya. Namun, sejauh yang saya lihat, dia beribadah sebagaimana umat Islam pada umumnya.
Keenam, Zohran tidak pernah memberi label pada keislamannya dengan sebutan-sebutan populer seperti Sunni atau Syiah. Saya menantang siapa pun untuk menunjukkan video atau tulisan langsung darinya yang menyatakan “saya Syiah.” Jika hanya bersumber dari Wikipedia, perlu diketahui bahwa tulisan di sana bisa dibuat siapa saja tanpa verifikasi kredibel.
Ketujuh, andaipun benar Zohran seorang Syiah, dengan keberanian dan ketegasannya dalam membela Palestina—khususnya Gaza—saya tetap akan mendukungnya. Sebaliknya, jika ada seorang Sunni yang justru berkolaborasi dengan zionis Yahudi dan membiarkan pembantaian terhadap saudara-saudara kita di Gaza, maka saya akan menentangnya.
Semoga penjelasan ini memperjelas duduk persoalan.
Jamaica Hills, 8 November 2025
Shamsi Ali Al-Nuyorki
