Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 11 Desember 2025
Karya: Ahmad Hariyansyah
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang penampilannya tampak sangat islami—busana syar’i, jilbab panjang, dan gaya berpakaian yang seolah mencerminkan ketakwaan. Namun Islam tidak menilai kemuliaan seseorang dari penampilan semata. Yang lebih utama adalah akhlak yang memancar dari hati, tutur kata, dan perbuatan.
Kisah yang Menggugah Hati
Suatu pagi, mobil layanan SIM keliling sedang memberikan pelayanan rutin di tepi jalan—bahkan sesekali berada di teras rumah warga, dengan izin pemilik rumah. Para petugas telah bertahun-tahun melayani masyarakat dengan ramah dan tanpa masalah.
Hingga datang seorang muslimah yang menyadari bahwa SIM C miliknya telah lewat masa berlaku selama sebulan. Ia berharap SIM-nya dapat langsung diperpanjang seperti warga lainnya. Petugas pun menjelaskan dengan sopan bahwa SIM yang sudah kadaluwarsa tidak dapat diperpanjang, dan pemohon wajib membuat SIM baru di kantor Satpas, sesuai aturan negara.
Penjelasan tersebut sederhana dan sudah sesuai prosedur. Namun sang ibu menolak menerima, bahkan marah-marah dan meminta seluruh peralatan pelayanan dipindahkan dari teras rumah mertuanya. Para petugas, dengan penuh kesabaran, memindahkan semua perangkat ke tepi jalan di bawah tenda kecil.
Seorang warga yang menyaksikan kejadian itu pun mengambil pelajaran penting:
Indahnya pakaian tidak selalu sejalan dengan indahnya akhlak. Cantik wajah tidak menjamin cantik hati.
Akhlak: Ukuran Kecantikan Sejati dalam Islam
Islam tidak menolak keindahan pakaian atau penampilan yang syar’i. Itu semua adalah bentuk ketaatan yang mulia. Namun Allah menegaskan bahwa ukuran utama kemuliaan seseorang adalah ketakwaannya.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Ketakwaan itu tidak hanya tampak dari pakaian, tetapi dari kesabaran, kelembutan, kerendahan hati, dan adab terhadap sesama.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi)
Dalam kisah tadi, busana syar’i tampak jelas, tetapi pancaran akhlak justru hilang. Itulah yang disebut:
“Cantik secara fiqh, tetapi tidak cantik secara akhlak.”
Ketika Marah dan Menyulitkan Orang Lain: Sifat yang Harus Diwaspadai
Sikap kasar, tidak mau menerima penjelasan, dan menyulitkan orang lain—terlebih ketika diri sendiri yang bersalah—adalah tanda penyakit hati. Bahkan Rasulullah SAW memperingatkan bahwa perilaku buruk semacam ini dekat dengan sifat munafik.
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila dipercaya ia berkhianat.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Seorang muslim juga tidak boleh menyakiti orang lain dengan lisan maupun perbuatannya:
“Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Petugas layanan SIM dalam kisah itu hanya menjalankan aturan. Namun justru mereka yang disulitkan oleh seseorang yang seharusnya menghormati mereka.
Penutup: Keindahan Hati Lebih Utama daripada Keindahan Penampilan
Islam tidak menolak kecantikan fisik maupun pakaian yang syar’i. Namun Nabi SAW menegaskan bahwa nilai utama seseorang terletak pada hati dan amalnya.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)
Maka kecantikan sejati adalah kecantikan akhlak—akhlak yang lembut, sabar, tidak semena-mena, tidak merendahkan orang lain, dan mau menerima aturan serta kebenaran.
Semoga kita termasuk orang-orang yang tidak hanya cantik dalam rupa, tetapi juga indah dalam akhlak.


