Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 8 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Ada kalanya alam berbicara tanpa huruf, tanpa suara—namun setiap manusia mampu merasakannya. Banjir yang tiba-tiba menyapu halaman rumah, tanah yang merekah karena kemarau panjang, angin kencang yang berembus tak biasa, atau langit yang muram berhari-hari—semua itu bukan sekadar fenomena alam biasa. Itu adalah bagian dari sunatullah, pesan Ilahi agar manusia berhenti sejenak dan merenungkan apa yang sedang terjadi pada bumi yang kita pijak.
Sebagian orang menangkap pesan itu. Namun tidak sedikit pula yang tetap abai. Mereka menganggap bencana hanyalah “kejadian rutin”, tanpa melihatnya sebagai pengingat untuk memperbaiki sikap terhadap lingkungan. Air keruh menggenangi jalan, tetapi hati mereka tetap keruh. Rumah terendam, tetapi ego tetap menjulang. Tangis korban nyaring terdengar, namun tidak cukup menggugah hati yang telah mengeras.
Padahal Allah telah menjelaskan dengan sangat terang bahwa kerusakan dan bencana yang terjadi seringkali lahir dari ulah manusia sendiri:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; (Allah menghendaki) agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya fenomena alam, tetapi juga peringatan Ilahi agar manusia sadar, bertaubat, dan berubah.
Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa musibah merupakan bentuk kasih sayang Allah untuk mengingatkan hamba-Nya:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum, Allah menimpakan musibah kepada mereka.”
(HR. Bukhari)
Musibah bukan sekadar penderitaan. Ia adalah pembersih, pengingat, dan penyelamat dari kelalaian yang jauh lebih berbahaya. Namun hanya mereka yang berhati lembut yang mampu menangkap pesan di baliknya.
Alam Tidak Menuntut Banyak
Sesungguhnya alam tidak meminta hal yang mustahil. Ia hanya ingin manusia lebih bijak dan peduli. Allah telah menegaskan bahwa manusia diamanahi sebagai khalifah di bumi:
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi...”
(QS. Fathir: 39)
Menjadi khalifah bukan berarti berkuasa sewenang-wenang, melainkan memelihara, menjaga keseimbangan, dan mencegah kerusakan. Ketika manusia lalai, tamak, dan merasa berkuasa tanpa batas, maka alam akan berbicara lebih keras. Dan sejarah selalu membuktikan: alam tidak pernah kalah. Yang kalah adalah hati-hati yang enggan mendengar.
Teguran Kecil Sebelum Teguran Besar
Allah menurunkan teguran bertahap—dari yang halus hingga yang keras—agar manusia memiliki waktu untuk kembali:
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul kepada umat-umat sebelum kamu; lalu Kami timpakan kepada mereka kesempitan dan penderitaan agar mereka tunduk.”
(QS. Al-An’am: 42)
Tujuannya bukan untuk menghancurkan manusia, tetapi agar mereka mendekat kepada-Nya.
Namun jika hati tetap keras, maka teguran yang lebih besar akan datang. Dan ketika itu terjadi, manusia tidak dapat menyalahkan siapa pun selain diri sendiri.
Menjadikan Musibah sebagai Jalan Kembali
Musibah seharusnya membuat manusia semakin rendah hati. Semakin sadar bahwa bumi ini bukan miliknya, melainkan amanah dari Allah. Semakin peka terhadap kesalahan, bukan semakin keras kepala.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mukmin tidak akan terkena musibah—kesusahan, penyakit, kesedihan, bahkan duri yang menusuknya—kecuali Allah menghapuskan dosa-dosanya karenanya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Musibah adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, bukan alasan untuk berputus asa.
Penutup: Semoga Kita Tidak Menjadi Orang yang Abai
Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang keras hati.
Semoga teguran kecil membuat kita segera sadar sebelum datang teguran besar.
Semoga hati kita lebih cepat luluh daripada tanah yang longsor.
Sebab Allah mencintai hamba yang mau belajar, berubah, dan memperbaiki diri.


