Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 29 Desember 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Akhir-akhir ini, alam seakan tidak lagi bersahabat dengan manusia. Banjir datang melampaui batasnya, panas menyengat tanpa jeda, gempa dan angin kencang hadir silih berganti. Semua bergerak di luar kebiasaan, seolah sedang berteriak: ada sesuatu yang tidak beres.
Keadaan ini mirip manusia ketika emosinya meluap. Saat kesabaran habis, suara meninggi, tindakan melewati kendali. Namun alam bukanlah benda mati tanpa makna. Dalam pandangan iman, alam adalah makhluk Allah—hamba-Nya—yang tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
Alam tidak pernah membangkang. Ia hanya menjalankan titah. Maka ketika alam “berubah sikap”, sesungguhnya bukan alam yang salah, melainkan manusia yang telah melampaui batas.
Kerusakan Bukan Tanpa Sebab
Allah telah menjelaskan bahwa kerusakan di bumi bukanlah peristiwa tanpa sebab, apalagi tanpa makna. Ia adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rūm: 41)
Ayat ini menegaskan dua hal penting:
- Kerusakan adalah buah ulah manusia, dari keserakahan, kezaliman, eksploitasi tanpa batas, dan lupa diri sebagai hamba.
- Kerusakan itu dihadirkan agar manusia kembali. Artinya bencana bukan semata hukuman, tetapi juga peringatan penuh hikmah—teguran yang mengandung peluang taubat.
Alam sebagai Hamba yang Diperintah
Sebagaimana manusia, alam juga hamba Allah. Ia tidak bergerak kecuali atas izin-Nya. Ketika air meluap, tanah berguncang, atau angin mengamuk, semuanya terjadi dalam koridor kehendak Ilahi.
Namun perlu dipahami: izin Allah bukan tanpa hikmah.
Ketika manusia enggan mendengar nasihat dari ayat-ayat yang dibaca, Allah menghadirkan ayat-ayat yang terjadi.
Ketika kata-kata tidak lagi menggugah, Allah mengajar dengan peristiwa.
Teguran Sesama Hamba
Dalam kehidupan manusia, teguran adalah bentuk kasih sayang. Begitu pula dalam tatanan semesta. Ketika manusia tidak lagi menegur dirinya dengan iman dan akhlak, Allah mengizinkan alam “berbicara” dengan caranya sendiri.
Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi amanah, bukan kebebasan tanpa batas. Ketika amanah itu dikhianati, teguran pun turun. Bukan karena Allah membenci, tetapi karena Allah ingin manusia sadar sebelum terlambat.
“Marahnya Alam”, atau Cermin dari “Murkanya Manusia”?
Sering kali manusia menyebut, “alam murka” atau “alam tidak bersahabat.”
Padahal sejatinya, alam hanya memantulkan keadaan manusia sendiri.
Kerusakan moral sering menjadi pintu kerusakan ekologis.
Keserakahan hati melahirkan ketidakseimbangan bumi.
Allah ﷻ mengingatkan:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A‘rāf: 56)
Ayat ini menunjukkan bahwa bumi diciptakan dalam keadaan seimbang dan baik. Manusialah yang merusaknya, lalu mengeluh ketika akibatnya kembali menghantam dirinya sendiri.
Jalan Kembali yang Diridhai Allah
Jika alam menegur, maka tugas manusia bukan melawan, tetapi merenung dan kembali:
kembali kepada tauhid, kepada keadilan, kepada amanah, dan kepada adab sebagai hamba.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah suatu kaum melakukan kemaksiatan di tengah-tengah mereka, sementara mereka mampu mengubahnya tetapi tidak melakukannya, kecuali Allah akan menimpakan azab kepada mereka secara merata.”
(HR. Abu Dawud)
Hadits ini mengajarkan bahwa pembiaran terhadap kerusakan—baik moral maupun sosial—akan berdampak kolektif. Teguran Allah bisa datang dalam bentuk luas, termasuk melalui alam.
Maka ketika bencana hadir, jangan hanya bertanya:
“Kenapa ini terjadi?”
tetapi bertanyalah lebih dalam:
“Apa yang harus kita perbaiki?”
Karena iman bukan hanya soal ibadah pribadi, tetapi juga soal tanggung jawab kolektif: menjaga bumi, menjaga manusia, dan menjaga amanah.
Penutup
Alam tidak membenci manusia. Ia hanya jujur. Ia patuh. Ia bersuara ketika diizinkan Allah untuk mengingatkan.
Semoga setiap gemuruh, luapan, dan guncangan menjadi dzikir yang tak terdengar oleh telinga, namun terasa oleh hati yang masih hidup. Semoga kita termasuk hamba yang peka terhadap isyarat Allah, lalu kembali kepada jalan yang benar dan diridhai-Nya.
“Maka ke manakah kamu akan pergi?”
(QS. At-Takwīr: 26)
“Ketika manusia tak lagi takut pada Allah, alam pun diizinkan Allah untuk membuat manusia takut.”


