Esai oleh: A. M. Iqbal Parewangi
Bagaimana jika selembar uang Rp10 ribu—yang sering kita sisihkan tanpa berpikir panjang—berubah menjadi energi kolektif yang mampu menolong ratusan ribu korban bencana?
Pertanyaan ini menemukan jawabannya dalam kebijakan Gerakan Nasional Infak Jum’at untuk Korban Bencana yang digagas Muhammadiyah di tengah bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Menariknya, Muhammadiyah tidak sekadar menggalang dana. Ia mengorkestrasi tiga wajah kemanusiaan sekaligus: kekuatan aritmetika kebaikan, gerakan sosial yang terstruktur dan masif, serta edukasi nilai fastabiqul khairat—berlomba-lomba dalam kebaikan—secara berjamaah.
Instruksi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, untuk mengalihkan infak Jum’at di seluruh masjid persyarikatan, amal usaha, dan jaringan takmir Muhammadiyah selama tiga pekan—12, 19, dan 26 Desember 2025—menunjukkan respons yang tenang namun strategis. Tenang karena tidak meledak-ledak, strategis karena memanfaatkan ekosistem organisasi yang telah mapan.
Pelaksanaannya pun dikoordinasikan melalui Lazismu dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), dua lembaga yang telah lama menjadi tulang punggung filantropi dan kebencanaan Muhammadiyah. Di sini, kebijakan tidak berhenti sebagai seruan moral, melainkan menjadi desain operasional yang siap dijalankan.
Ekosistem Muhammadiyah dan Aritmetika Kebaikan
Dari sudut pandang sains sosial dan ekonomi, kebijakan ini menarik karena menautkan moralitas dengan aritmetika kebaikan.
Data internal persyarikatan mencatat sekitar 12 ribu masjid Muhammadiyah tersebar di seluruh Indonesia. Dengan asumsi konservatif—100 jamaah Jum’at per masjid dan infak Rp10 ribu per orang—satu kali Jum’at berpotensi menghimpun sekitar Rp12 miliar. Dalam tiga Jum’at, jumlah itu mencapai Rp36 miliar.
Ketika jaringan pendidikan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ikut bergerak—172 perguruan tinggi dengan sekitar 618 ribu mahasiswa, 5.345 sekolah, dan 440 pesantren dengan lebih dari 1 juta murid dan santri—potensi infak bertambah sekitar Rp11,5 miliar per Jum’at, atau Rp34,5 miliar dalam tiga pekan. Ditambah kontribusi dari 122 rumah sakit dan 231 klinik Muhammadiyah-‘Aisyiyah, potensi nasionalnya dapat menembus Rp70 miliar atau lebih.
Angka-angka ini bukan retorika. Ia lahir dari asumsi moderat yang justru memperlihatkan betapa kuatnya daya ungkit filantropi berbasis jamaah—bahkan tanpa mengoptimalkan lebih dari 60 juta warga Muhammadiyah secara penuh.
Menariknya, Muhammadiyah sejatinya mampu menyumbang dana besar langsung dari kas persyarikatan. Sebagai salah satu organisasi keagamaan terkaya di dunia, Muhammadiyah memiliki aset sekitar USD 27,96 miliar atau setara Rp454,2 triliun, dengan lebih dari 20 ribu aset wakaf dan 241 juta meter persegi tanah (Global Civil Society Assets, 2023).
Namun, Muhammadiyah justru memilih mengajak warga untuk ikut memberi, bukan sekadar melaporkan donasi. Di sinilah wajah ketiga kemanusiaan itu tampak jelas: edukasi nilai.
Fastabiqul Khairat sebagai Pengalaman Sosial
“Mari kita fastabiqul khairat mengeluarkan dana infak tersebut seoptimal mungkin,” seru Haedar Nashir. “Itulah wujud persaudaraan kita terhadap saudara-saudara yang tertimpa musibah banjir dan longsor, khususnya di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.”
Dalam perspektif sosiologi agama, praktik berulang seperti infak Jum’at ini membangun habitus moral—kebiasaan memberi yang tertanam dalam kesadaran kolektif (Bourdieu). Muhammadiyah mempraktikkan pendidikan karakter lintas generasi: dari murid yang menyisihkan Rp5 ribu, mahasiswa, hingga tenaga medis yang memberi lebih.
Gerakan ini juga relevan dengan konteks kebencanaan Indonesia. Data BNPB menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen bencana tahunan merupakan bencana hidrometeorologi. Di tengah keterbatasan anggaran negara dan kompleksitas birokrasi, filantropi terorganisir menjadi penyangga penting respons kemanusiaan (UNDRR, 2022).
Keunggulan lain gerakan ini adalah tata kelola. Lazismu dan MDMC memiliki rekam jejak transparansi dan akuntabilitas. Kepercayaan publik—mata uang utama filantropi—dirawat melalui mekanisme yang jelas dan kedekatan dengan penerima manfaat.
Dari Kotak Infak ke Ketahanan Sosial Bangsa
Tanpa perlu gaduh, Muhammadiyah menunjukkan bahwa kepedulian dapat dijalankan secara sistemik, sunyi, dan berdampak. Ia tidak menunggu status bencana nasional atau sorotan kamera. Ia bekerja dari bawah—dari mimbar Jum’at, dari kotak infak yang tampak sederhana namun menyimpan kekuatan besar.
Di sini, spiritualitas bertemu rasionalitas. Dalam tradisi Islam, memberi adalah penyucian diri dan pengikat persaudaraan. Dalam bahasa ekonomi modern, ia adalah redistribusi sumber daya. Muhammadiyah berhasil menjembatani keduanya.
Sekitar Rp70 miliar mungkin tampak kecil dibanding kerugian bencana yang mencapai triliunan rupiah. Namun dampaknya nyata: dapur umum menyala, obat tersedia, tenda berdiri, dan—yang tak kalah penting—harapan tetap hidup.
Bagi bangsa yang rawan bencana, gerakan infak Jum’at ini memberi pelajaran penting: ketahanan sosial dibangun dari bawah, dari jamaah yang percaya bahwa kebaikan, jika dilakukan bersama, akan selalu menemukan jalannya.
Dan setiap Jum’at, di sela doa dan sujud, kita diingatkan bahwa kemanusiaan adalah ibadah yang paling dekat dengan kehidupan.
(Serambi Madinah, 12 Desember 2025)


