Jakarta, infoDKJ.com | Jumat, 16 Mei 2025
Di tengah riuh modernitas Jakarta yang terus berlari, ada satu sosok yang memilih berjalan pelan, tapi pasti—menyusuri lorong waktu dengan setia menjaga apa yang dianggapnya paling berharga: warisan budaya.
Eddy Marzuki Nalapraya tidak pernah benar-benar pensiun dari pengabdiannya. Meski rambutnya memutih dan tubuhnya tak lagi tegap seperti masa dinas militer, semangatnya justru makin menyala. Ia bukan lagi sekadar purnawirawan tentara atau mantan pejabat pertahanan; ia adalah penjaga nilai-nilai Betawi yang enggan pudar.
Hingga hembusan napas terakhirnya pada 13 Mei 2025, Eddy terus bergerak. Dalam diamnya, ia tetap bekerja—bukan untuk gelar, bukan demi kekuasaan, melainkan demi kampung halaman yang ia cintai sepenuh hati.
Di masa mudanya, Eddy menyaksikan betapa kerasnya Jakarta. Tahun-tahun kelam di era 1980-an menorehkan luka: premanisme menjamur, kekerasan menjadi bahasa sehari-hari. Di tengah situasi yang nyaris tanpa kendali itu, ia memilih jalan yang berbeda: membangun sistem pertahanan berbasis warga. Pencak silat dijadikannya pilar, bukan untuk menyerang, tapi untuk mendidik. Bagi Eddy, silat bukan seni bela diri semata—melainkan sarana menanamkan harga diri, keberanian, dan etika.
Ia percaya, anak Betawi yang tahu jati dirinya tak akan merusak tanah kelahirannya. Maka lahirlah program-program akar rumput: interkom lingkungan, jaringan radio amatir, forum silaturahmi antarwarga. Semua dirajut dengan kesadaran bahwa keamanan dan kebersamaan adalah milik bersama.
Di balik sikapnya yang sederhana, tersimpan visi besar. Eddy menjadikan pencak silat sebagai duta budaya Indonesia. Sebagai Ketua Umum IPSI selama lebih dari 20 tahun, ia membawa silat ke panggung dunia. Puncaknya, saat Indonesia meraih 14 emas di Asian Games 2018—ia menitikkan air mata. Bukan soal medali, tapi karena silat yang dulu hanya dikenal di tanah lapang kampung, kini berdiri sejajar dengan cabang-cabang olahraga bergengsi dunia.
Namun Eddy bukan orang yang mudah berjarak. Ia tetap nyaman bersila di bale-bale bersama tokoh kampung, berdialog dengan ulama, atau bercanda dengan anak-anak. Wawasannya melampaui batas agama dan suku, tapi hatinya tetap pulang ke tanah Betawi.
Ketika akhirnya ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, itu bukan hanya penghormatan atas jasanya di dunia militer. Tapi lebih dari itu—ia telah menjadi bagian dari napas sejarah Jakarta. Sosok yang menyatukan kekuatan dengan kearifan, otoritas dengan kerendahan hati.
Eddy Marzuki Nalapraya memang telah pergi. Namun warisannya tak pernah hilang. Ia hidup dalam langkah para pendekar muda, dalam sapaan warga yang saling menjaga, dalam setiap gerakan silat yang mengajarkan keheningan yang kuat dan kelembutan yang tangguh.
Warisan sejati Eddy adalah keberanian untuk menjadi diri sendiri di tengah godaan untuk melupakan asal-usul. Dan dalam dunia yang terus berubah, ia mengajarkan satu hal penting: siapa yang lupa akar, akan rapuh dalam terpaan zaman.
(Kiem)