Jakarta, infoDKJ.com | Jumat, 16 Mei 2025
PERIODE MADINAH
KISAH RASULULLAH ﷺ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
Umar Merasa Terlecehkan dengan Isi Perjanjian
Suhail merebut anaknya, dan membelenggunya di hadapan Rasulullah ﷺ, dan para sahabat merasa ikut tersiksa memperhatikan penderitaan pemuda itu. Namun tiada jalan lain, selain menerima isi perjanjian itu.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad
Ketidakpuasan Umar
Kemudian datanglah Suhail bin Amr. Rasulullah ﷺ menyambutnya dengan antusias dengan harapan utusan Quraisy kali ini membawa harapan dan kemudahan untuk berhaji, karena sesuai namanya Suhail berarti kemudahan.
"Semoga Allah memudahkan urusan kalian. Sungguh kaum itu benar-benar mengharapkan perdamaian sampai mereka mengutus orang ini," harap Rasulullah ﷺ.
Pesan Quraisy kepada Suhail bin Amr
"Datangilah Muhammad dan berdamailah dengan beliau. Namun dalam perjanjian ini, dia harus mencabut keinginannya untuk berziarah tahun ini. Demi Allah, orang-orang dari suku Arab (dari suku lainnya), tidak berhak menasihati kita. Maka selamanya Muhammad tidak bisa memasuki Makkah meski dengan damai."
Setelah Suhail menyampaikan pesan tersebut kepada Rasulullah ﷺ, perdamaian pun dilaksanakan dengan menyepakati klausul-klausul perjanjian.
Umar bin Khattab tidak puas dengan isi perjanjian itu. Ketidakpuasannya ini ditunjukkan setelah terjadi insiden saat penulisan perjanjian. Saat itu Ali bin Abi Thalib mendapat tugas dari Rasulullah ﷺ untuk menulis perjanjian itu.
"Tulislah Bismillahirohmanirrohim!" sabda Rasulullah ﷺ kepada Ali.
"Stop!" seru Suhail. "Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim ini tidak kukenal. Tulislah dengan Bismika Allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah)."
"Tulislah dengan nama-Mu ya Allah," sabda Rasulullah ﷺ kepada Ali.
"Lalu, tulislah: Ini adalah perjanjian damai yang ditetapkan antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr."
Namun delegasi Quraisy itu kembali menolak.
"Jika kami mengakui bahwa engkau Rasulullah, tentu kami tidak akan memerangimu. Karena itu, tulislah namamu dan nama ayahmu."
"Baik. Hapuslah kata Rasulullah. Tulislah Muhammad bin Abdullah," sabda Rasulullah ﷺ.
Sebagaimana para sahabat lain yang hadir, Ali bin Abi Thalib sudah memuncak kemarahannya kepada delegasi Quraisy itu, sehingga ia berkata:
"Tidak ya Rasulullah! Demi Allah aku tidak sudi menghapus kata itu."
Akhirnya Rasulullah ﷺ sendiri yang menghapus kata-kata itu.
Melihat hal itu, Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar yang duduk di sampingnya:
"Bukankah dia itu Rasulullah?"
"Memang betul," jawab Abu Bakar.
"Bukankah kita ini orang-orang Islam?"
"Memang betul."
"Bukankah mereka itu orang-orang musyrik?"
"Memang betul."
"Lalu mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?" seru Umar berapi-api.
Abu Bakar menenangkan Umar dengan kata-kata tegas:
"Umar, duduklah di tempatmu! Aku bersaksi bahwa dia Rasulullah."
Namun hampir semua sahabat berpendapat seperti Umar.
Setelah itu Umar cepat-cepat menghadap Rasulullah ﷺ. Ia masih dalam keadaan gusar terhadap perjanjian yang dipandang menghina Islam itu.
Ia bertanya:
"Bukankah Anda itu Rasul Allah?"
Dengan tenang beliau menjawab: "Ya, benar."
"Bukankah kita ini kaum Muslimin?" tanya Umar lagi.
Dengan sabar Rasul menjawab: "Ya, benar!"
"Bukankah mereka itu orang-orang musyrikin?"
"Ya, benar," jawab Rasul Allah.
"Kenapa kita menyetujui agama kita direndahkan?" Umar mengakhiri pertanyaannya sambil menekan perasaannya sendiri yang melonjak-lonjak.
Dengan lemah lembut Rasul Allah ﷺ menerangkan:
"Hai Umar, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak akan menyelisihi perintah-Nya, dan Allah tidak akan menyesatkan diriku."
Mereka merasa agama mereka telah dilecehkan dengan perjanjian ini. Bukan saja mereka gagal berhaji tahun ini, tetapi juga harus menerima bahwa orang musyrik itu seolah merendahkan Allah dan Rasul-Nya.
Isi Perjanjian Hudaibiyah:
- Rasulullah harus pulang pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun depan bersama-sama kaum Muslim. Mereka hanya diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa musafir, yaitu pedang yang disarungkan.
- Gencatan senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun.
- Siapa yang bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjannya, maka dia boleh melakukannya. Dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjannya, maka dia boleh melakukannya.
- Siapapun orang Quraisy yang meminta perlindungan kepada kaum Muslim, maka kaum Muslim hendaknya mengembalikannya kepada pihak Quraisy. Dan siapapun dari pihak Muslim yang mendatangi Quraisy (melarikan diri darinya), dia tidak dikembalikan pada Muslim.
Kemudian terjadilah sebuah peristiwa yang membuat para sahabat semakin tidak menyukai perjanjian ini.
Belum lagi kering tinta perjanjian itu...
Pada saat penulisan itu, tiba-tiba muncul “Abu Jandal”, anak “Suhail bin Amr”. Dia berjalan tertatih-tatih, kedua kakinya terbelenggu. Dia melarikan diri dari Makkah menuju kaum Muslim di Madinah. Selama ini dia ditahan oleh orang-orang Quraisy.
Belum sempat keinginan Abu Jandal untuk bergabung dengan kaum Muslim tercapai, Suhail bin Amr mengetahuinya.
Abu Jandal berteriak:
"Selamatkan aku, wahai orang-orang Muslim! Tolonglah aku! Aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah; dan Muhammad itu utusan Allah."
Suhail bin Amr berkata:
"Wahai Muhammad, Abu Jandal adalah anakku. Berdasarkan perjanjian, kamu harus memulangkan Abu Jandal kepada kami."
Rasul menjawab: "Ya, benar."
"Ini adalah orang pertama yang kutuntut agar engkau mengembalikannya."
Berkata Rasulullah ﷺ:
"Kami tidak akan melanggar perjanjian ini sampai kapanpun."
Abu Jandal berseru kembali:
"Wahai semua orang Muslim! Apakah aku akan dikembalikan kepada orang-orang musyrik yang akan mengujiku gara-gara agamaku yang baru ini?"
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan tabahlah, karena Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu!"
Para sahabat sangat terkejut menyaksikan kedua kaki Abu Jandal dalam keadaan terbelenggu sehingga ia berjalan tertatih-tatih. Rupanya ia berhasil melepaskan diri dari Makkah dan hendak menggabungkan diri dengan saudara-saudara Muslimnya di Madinah.
Namun begitu melihat anaknya itu, Suhail menampar muka anaknya dan memegang tengkuknya sambil berseru kepada Rasulullah:
"Hai Muhammad, sebelum dia datang kepada Anda, antara Anda dan aku telah berlaku perjanjian."
Suhail merebut anaknya dan membelenggunya di hadapan Rasulullah ﷺ, dan para sahabat merasa ikut tersiksa memperhatikan penderitaan pemuda itu. Namun tiada jalan lain, selain menerima isi perjanjian itu.
Umar bin Khattab Menghasut Abu Jandal
Setelah itu Umar bin Khattab duduk di samping Abu Jandal dan berbisik:
"Wahai Abu Jandal, sesungguhnya laki-laki (yang sejati keimanannya) benar-benar akan membunuh ayahnya demi menegakkan agama Allah. Seandainya Al-Khattab ayahku masih hidup, tentu aku berbuat seperti ini, pasti aku akan membunuhnya."
Nasihat Umar kepada Abu Jandal.
"Secara diam-diam, Umar telah menghunus pedang dan mendekatkannya ke tangan Abu Jandal agar ia bisa meraihnya dan menebas kepala Suhail."
Abu Jandal mengerti maksud Umar, tapi karena masih teringat kasih sayang orang tuanya, dia mengurungkan niatnya.
Suhail membawa pulang anaknya dalam keadaan terbelenggu. Keputusan Abu Jandal mendatangkan kebaikan. Suhail bin Amr masuk Islam. Dia bersama Abi Jandal menjadi pahlawan Islam yang gugur sebagai fii sabilillah.
Suhail membawa Abu Jandal pulang ke Makkah. Sebelum sampai, Abu Jandal berhasil meloloskan diri dari belenggu yang mengekang tubuhnya dan melarikan diri. Begitu sampai di Marr Dhahran, wilayah lepas pantai Laut Merah, dia bertemu dengan orang-orang yang kabur dari Makkah.
Mereka ini tidak boleh diterima komunitas kaum Muslim di Madinah sesuai Perjanjian Hudaibiyah. Mereka membentuk perkumpulan dan bertugas menyelidiki dan menghimpun orang-orang yang membelot dari komunitas kafir Makkah.
Shallu ‘Alan Nabi…
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد
Lanjut ke bagian 122...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri