Jakarta, infoDKJ.com | Sabtu, 17 Mei 2025
PERIODE MADINAH
KISAH RASULULLAH ﷺ
“Kita tidak bisa menyalahkan Muhammad karena para pengikutnya itu tidak lari ke Madinah!”
”Lalu mereka menyampaikan pesan bahwa siapapun orang Muslim yang menemui Rasulullah dianggap aman, tidak akan diminta untuk dikembalikan ke orang-orang Quraisy.”
Sementara itu istri-istri Rasulullah meminta supaya bisa seperti perempuan umumnya
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Allohumma sholli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad
Kelompok Abu Bushair
Budak itu terus berlari memasuki masjid. Melihat kehadirannya, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sepertinya orang itu sedang ketakutan.”
Budak itu berlari ke hadapan Rasulullah ﷺ sambil berkata,
“Teman Tuan membunuh teman saya, saya pun agaknya akan dibunuhnya pula.”
Tidak lama kemudian datanglah Abu Bushair dengan membawa pedang terhunus. Abu Bushair tahu bahwa Rasulullah ﷺ sangat teguh memegang perjanjian. Jika saat itu ia menetap di Madinah, Rasulullah ﷺ pasti akan memulangkannya kembali.
Abu Bushair pun berkata:
“Yaa Rasulullah, jaminan Tuan sudah terpenuhi dan Allah sudah melaksanakannya buat Tuan. Tuan menyerahkan saya ke tangan mereka.
Dan dengan agama saya ini, saya tetap bertahan supaya saya jangan dianiaya atau dipermainkan karena keyakinan agama saya ini oleh mereka,” kata Abu Bushair.
Saya yakin Anda tidak akan menerima saya karena terikat perjanjian Hudaibiyah. Setelah berkata begitu, Abu Bushair pergi meninggalkan Madinah.
Rasulullah ﷺ tahu maksud Abu Bushair. Beliau pun memandang kagum orang itu karena keberaniannya. Dalam hati Rasulullah ﷺ mengharapkan Abu Bushair mempunyai anak buah.
Sesuai dugaan Rasulullah ﷺ, Abu Bushair tidak kembali ke Makkah. Ia pergi ke daerah Al-Ish, tempat itu adalah jalur perdagangan Quraisy menuju Syam, tepat di tepi laut.
Ia berniat hendak melancarkan gerakan mengganggu dan menghadang kafilah-kafilah Quraisy yang biasa melalui jalan lalu lintas dagang di daerah tersebut.
Kepergian Abu Bushair ke daerah ini didengar oleh kaum Muslimin yang tinggal di Makkah. Mereka juga mendengar betapa kagumnya Rasulullah ﷺ pada keberanian Abu Bushair.
Para Muslim yang banyak teraniaya di Makkah bergabung dengan Abu Bushair
Maka diam-diam 70 Muslim yang selama ini hidup tertindas di Makkah pergi menyusul Abu Bushair. Abu Jandal, anak Suhail, tentu saja berada di antara mereka itu. Makin lama komunitas mereka makin banyak.
Ketika mereka tiba, kaum Muslim yang tertindas itu mengangkat Abu Bushair sebagai pemimpin. Mulai sejak itulah mereka menyerang, menghadang, dan mengambil harta rombongan barang dagangan setiap kafilah dagang Quraisy yang lewat.
Perdagangan Quraisy terancam
”Ini berbahaya!”
Sangat berbahaya!” gerutu seorang pemimpin Quraisy.
“Kita tidak bisa menyalahkan Muhammad karena para pengikutnya itu tidak lari ke Madinah!”
”Mau tidak mau kita harus meminta Muhammad menampung mereka ke Madinah agar jalur dagang kita aman!”
”Lalu mereka menyampaikan pesan bahwa siapapun orang Muslim yang menemui Rasulullah dianggap aman, tidak akan diminta untuk dikembalikan ke orang-orang Quraisy.”
“Tapi itu tidak sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah,” jawab yang lain.
“Kita terpaksa mengalah, tidak ada jalan lain, bukan!”
Akhirnya orang Quraisy semua setuju meminta Rasulullah ﷺ menerima Abu Bushair dan pasukannya. Mereka sadar bahwa orang yang imannya sangat kuat lebih berbahaya daripada membebaskannya.
Dengan demikian, gugurlah salah satu isi perjanjian yang mengatakan bahwa orang Muslim yang melarikan diri dari Quraisy harus dikembalikan.
Kini setiap Muslim Makkah bisa bergabung setiap saat dengan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya di Madinah. Ini adalah salah satu tanda kemenangan kaum Muslimin seperti yang telah disampaikan dalam firman Allah.
Abu Bushair meninggal
Abu Bushair, Abu Jandal, dan teman-teman mereka mencerminkan aqidah yang kuat dalam perjuangan suci menegakkan kebenaran.
Kebencian mereka terhadap musuh yang zhalim menunjukkan pula betapa iman yang mantap kepada Allah SWT telah menguasai hati mereka sehingga mereka ikhlas mengorbankan apa saja selain kebenaran agamanya.
Abu Bushair tidak beruntung, tidak dapat berkumpul kembali dengan Rasulullah, karena izin untuk bertempat tinggal di Madinah datang pada saat ia sedang menghadapi ajalnya.
Utusan Rasulullah datang membawa surat, dalam surat itu beliau menganjurkan supaya Abu Bushair meninggalkan tempat itu dan boleh pulang ke mana saja yang disukainya.
Ketika menerima surat itu dari Rasulullah, Abu Bushair sedang menantikan datang ajalnya.
Ia wafat dalam keadaan surat masih berada di atas dadanya. Oleh Abu Jandal, surat itu dikubur bersama-sama jenazah Abu Bushair.
Istri-istri Rasulullah
Kedudukan yang telah Rasulullah ﷺ berikan kepada para istrinya belum pernah didapati oleh wanita-wanita Arab sebelum mereka. Rasulullah ﷺ sangat lembut, selalu tersenyum, dan penuh kasih sayang kepada para isterinya.
“Laki-laki terbaik di antara kamu adalah yang berlaku paling baik kepada isterinya,” demikian sabda beliau.
Maka wajar saja, isteri-isteri Rasulullah ﷺ menjadi sedikit manja. Mereka begitu mencintai Rasulullah ﷺ sehingga saling berebut perhatian beliau.
Aisyah sangat cemburu jika Rasulullah ﷺ sedang memberi perhatian kepada Hafshah, demikian pula sebaliknya.
Bahkan Aisyah sampai cemburu kepada almarhumah Khadijah. Hal seperti itu tentu mengganggu ketentraman hati Rasulullah ﷺ.
Tidak cukup sampai di situ, para ibu kaum Muslimin itu pun mengeluh kepada Rasulullah ﷺ tentang kesederhanaan hidup mereka.
Dengan mata berkaca-kaca, beberapa istri Rasulullah ﷺ pernah memohon agar Rasulullah ﷺ juga memperhatikan pakaian mereka yang sederhana.
Para ibu kaum Muslimin itu tahu bahwa Rasulullah ﷺ adalah pemimpin negara yang cukup besar saat itu. Dengan mudah, Rasulullah ﷺ akan dapat memberikan mereka pakaian dari sutra, kain katun Mesir, dan baju halus dari Yaman.
Bahkan, Rasulullah ﷺ juga bisa saja memberikan setiap isterinya perhiasan dari emas. Jadi, mengapa mereka harus hidup sederhana?
Dengan cara halus, Rasulullah ﷺ berusaha menyadarkan para isteri beliau. Sebagai isteri Rasulullah ﷺ, mereka tidak sama dengan wanita-wanita lain.
Mereka memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki wanita lain, yaitu bersuamikan Rasulullah ﷺ. Mereka harus menjadi wanita penyabar dan patuh kepada suami sehingga pantas diteladani oleh isteri-isteri sahabat.
Namun, isteri-isteri beliau secara halus tetap menuntut agar Rasulullah ﷺ memberi uang belanja yang lebih layak.
Karena sudah tidak ada jalan lain, Rasulullah ﷺ pun memutuskan hidup terpisah dari isteri-isterinya.
Masalah yang harus dihadapi masih segunung, termasuk ancaman Yahudi dari Khaibar.
Para isteri yang harusnya menenteramkan malah mengeruhkan batin Rasulullah ﷺ.
Mengetahui hal tersebut, Abu Bakar datang dan memarahi Aisyah. Umar bin Khattab juga memarahi putrinya Hafshah.
Akhirnya para isteri Rasulullah ﷺ itu menyadari kelalaian mereka. Sambil menangis, mereka memohon ampun pada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan mereka.
Rasulullah ﷺ memaafkan mereka dan kembali hidup tenteram seperti semula.
Shallu ‘alan Nabi…!
Bersambung ke bagian 124...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri