Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 16 Juni 2025
Oleh: Dian Istiqomah, Anggota DPR RI 2019–2024
Kenaikan harga beras dunia pada Mei 2025, sebagaimana dilaporkan sejumlah media (10/6), memunculkan paradoks yang mencolok. Meski Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan produksi beras global pada 2025/2026 mencapai 551,5 juta ton—naik 4,9 juta ton dari tahun sebelumnya—harga beras tetap melonjak. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara produksi melimpah dan harga yang terus naik. Bagi negara pengimpor seperti Indonesia, situasi ini menjadi tantangan besar.
Di Jepang, kelangkaan beras jenis japonica menyebabkan lonjakan harga. Di Indonesia, meskipun produksi domestik diperkirakan meningkat, harga beras medium di tingkat konsumen masih lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET). Ini menunjukkan bahwa faktor eksternal tetap memberikan pengaruh besar yang tidak bisa diabaikan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah responsif, seperti menyalurkan bantuan beras kepada 18,3 juta keluarga berpenghasilan rendah dan mengoptimalkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Namun, di tengah gejolak global ini, visi ambisius Presiden Prabowo Subianto tentang swasembada dan kemandirian pangan—yang disebutnya sebagai “masalah hidup-mati bangsa”—perlu diuji konsistensinya. Ada "gajah besar" di lumbung padi kita yang belum sepenuhnya tertangani.
Janji dan Realita: Jangan Sekadar Retorika
Pemerintah mengklaim berbagai capaian, seperti target peningkatan produksi beras di Sumatera Selatan, rekor cadangan beras Bulog yang mencapai 3,7 juta ton, serta target swasembada jagung pada 2026. Presiden Prabowo juga menyoroti lonjakan produksi jagung di Sulawesi Selatan yang meningkat 33% pada kuartal I-2025.
Namun, realitasnya tidak seindah klaim. Impor beras Indonesia pada 2023 mencapai 3,06 juta ton—tertinggi dalam 25 tahun terakhir. Ini menunjukkan kesenjangan besar antara janji dan kenyataan produksi domestik.
Alokasi anggaran sebesar Rp139,4 triliun untuk program pangan 2024–2029 juga menimbulkan pertanyaan. Mayoritas dana dialokasikan untuk program seperti Makan Bergizi Gratis yang dikritik kurang menyentuh infrastruktur inti pertanian. Proyek food estate yang kini dilanjutkan merupakan warisan dari program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) era Presiden SBY yang dinilai gagal. Melanjutkan proyek tersebut tanpa evaluasi mendalam berisiko mengulang kegagalan masa lalu.
Kebijakan yang Terpecah dan Tak Terkoordinasi
Presiden Prabowo menekankan pentingnya integrasi antara ketahanan pangan, energi, dan air. Namun, di lapangan, implementasi justru menunjukkan kebijakan yang terpecah-pecah.
Program Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) di Merauke melibatkan banyak kementerian tanpa koordinasi yang jelas, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan konflik. Kementerian Perdagangan kerap mengizinkan impor jagung saat Kementerian Pertanian justru menargetkan swasembada—akibatnya, harga jagung lokal anjlok saat panen.
Tumpang tindih juga terlihat dalam proyek food estate, di mana kewenangan antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kerap bertabrakan, menyebabkan konflik dengan masyarakat adat. Sementara itu, gudang desa milik Kemendagri tidak terkoneksi dengan rantai pasok Bulog, menyebabkan sekitar 30% hasil panen—seperti buah dan sayur—terbuang sia-sia.
Masalah efisiensi juga menjadi sorotan. Banyaknya hari libur dan cuti bersama sering disalahkan sebagai penyebab rendahnya produktivitas industri, padahal akar masalahnya adalah sistem kerja yang belum efisien. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia telah mengembangkan sistem kerja berbasis teknologi dan hasil yang lebih cerdas.
Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500/kg yang mulai berlaku 15 Januari 2025 pun berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi petani jika tidak dikawal dengan konsistensi. Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian terus mengancam, dengan sekitar 100.000 hektare lahan produktif beralih fungsi setiap tahun.
Solusi Konkret Menuju Kedaulatan Pangan
Untuk benar-benar mewujudkan kedaulatan pangan, pemerintah harus mengambil langkah strategis yang menyeluruh:
1. Harmonisasi Regulasi dan Penguatan Koordinasi
Perlu konsolidasi lebih dari 20 undang-undang sektoral terkait pangan ke dalam satu payung hukum yang komprehensif. Posisi Menteri Koordinator Pangan harus diperkuat untuk menyatukan arah kebijakan lintas kementerian, termasuk sinkronisasi program seperti Makan Bergizi Gratis.
2. Prioritaskan Pertanian Lokal dan Infrastruktur Irigasi
Anggaran food estate sebaiknya dialihkan untuk rehabilitasi 7,4 juta hektare sawah produktif yang sudah ada dan pengadaan 80.000 unit pompa air. Diversifikasi pangan lokal seperti sagu dari Papua, jagung dari NTB, dan umbi dari Jawa juga perlu didorong untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan impor gandum.
3. Transparansi dan Partisipasi Publik
Pemerintah perlu membuka akses data stok pangan dan progres proyek secara real-time melalui platform digital demi meningkatkan akuntabilitas. Partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait lahan juga harus dijamin. Integrasi gudang desa dengan logistik nasional akan mencegah pemborosan hasil panen.
Di sisi lain, stabilisasi harga dan akses petani terhadap pembiayaan serta teknologi harus ditingkatkan. Reformasi sistem kerja nasional yang efisien dan produktif juga akan mendukung ekosistem ketahanan pangan secara menyeluruh.
Pangan: Bukan Sekadar Komoditas Politik
Presiden Prabowo benar ketika mengatakan, “Tanpa pangan, tak ada kedaulatan politik.” Namun, kedaulatan tidak bisa dicapai hanya dengan jargon. Diperlukan keberanian untuk mengoreksi kegagalan masa lalu, regulasi yang konsisten, dan pemberdayaan petani sebagai aktor utama.
Jika tidak segera dibenahi, proyek food estate berisiko menjadi bencana ekologi ketiga setelah PLG dan MIFEE. Sudah saatnya kita beralih dari model pertanian korporasi berskala besar menuju penguatan sistem pangan berbasis komunitas yang efisien dan berkelanjutan.
Sebab, pangan bukan sekadar isu ekonomi atau politik—pangan adalah esensi dari kehidupan sebuah bangsa.
Pertanyaannya: Mampukah Presiden Prabowo mengubah janji menjadi kebijakan nyata untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia?
(Amar/Dn)